Mobil berjalan perlahan melewati sebuah bundaran–Bundaran Cibiru. Antrean kendaraan terasa padat, terutama ketika arus dari arah barat bertemu dengan kendaraan-kendaraan dari arah utara.
Sebuah huruf “M” besar–lambang logo restoran cepat saji terkenal–tampak menyembul di sisi barat laut. Mata Fitra memincing melihatnya. Kapan berdirinya, ya? Rasanya terakhir lewat sini belum ada. Ah … sudahlah! Fitra kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Ia melirik sekilas pada jam digital yang tertempel di dashboard. Sudah pukul satu lebih. Tepatnya, 13.17.
Kalau sudah di jalan satu arah ini, berarti tinggal sedikit lagi bertemu putaran, lalu balik arah dan berbelok ke timur menuju Rancaekek. Dari arah Jalan Soekarno-Hatta memang tidak bisa langsung belok kanan, harus berputar di depan dulu. Hanya saja … kok, rasanya macet luar biasa, ya?
Sudah sejak tadi sebenarnya, dari sepanjang Jalan Soekarno-Hatta menjelang Bundaran Cibiru. Arus semakin melambat. Dan kini….
Fitra tampak celingukan dengan wajah gelisah.
Stuck!
Macet total tidak bergerak. Ada apa ini?
Memang, sih, di sini sering macet. Hanya saja, kali ini macetnya benar-benar di luar nalar.
Terdengar beberapa kali suara klakson, tanda pengemudi sudah tak sabar. Sayang, semua tiada guna. Arus kendaraan benar-benar tertahan.
“Ada apa, sih?” Fitra menggumam sendiri.
Gya pun ikut penasaran. Jendela kaca dibuka dan ia mulai melongok keluar. Sayangnya, sepanjang mata memandang, yang tampak hanya barisan kendaraan. Beberapa penumpang angkutan umum tampak turun dan memilih berjalan, meninggalkan sopir yang hanya bisa menggerutu. Beberapa pedagang kaki lima mencoba “menghibur” dengan menghampiri satu per satu kendaraan yang tidak bergerak. Siapa tahu pengemudi atau penumpangnya ada yang membutuhkan minuman segar atau penganan kecil pengganjal perut.
Fitra akhirnya menekan tombol power window untuk membuka jendela, kemudian mematikan mesin.
“Hemat bensin, Mbak. Dan biar nggak overheat juga.” Fitra menjelaskan tanpa ditanya.
Gya tidak menjawab. Namun, Christie yang ternyata tertidur di bangku belakang sontak terbangun. Semilir angin AC yang tiba-tiba berhenti sepertinya membuat tubuhnya bereaksi. Christie tampak menggeliat, lalu mengucek mata. Pandangannya menyapu sekeliling dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya.
“Di mana ini?” tanya Christie.
“Di….” Gya ingin menjawab, tetapi ragu. Ia pun menoleh ke Fitra.
“Cileunyi. Tinggal muter, terus belok kiri ke Rancaekek. Biasanya nggak semacet ini.” Fitra mengelap keringatnya. Sepertinya ia mulai merasa salah kostum–mengenakan jaket olahraga. Ia ingin membuka jaketnya, tetapi ruang geraknya terbatas.
“Ada apa ini?” Christie mulai sadar kalau kendaraan terjebak macet parah.
“Entah. Ada syuting, kali? Mungkin U2 lagi konser sambil bikin video klip ‘Where The Street Has No Name’, atau REM nyanyi ‘Everybody Hurts’.” Fitra menjawab asal.
Christie menatap Fitra yang duduk di depan. Ada nada kekesalan dalam suaranya. Entah karena Christie yang bertanya, entah karena kemacetan jalan yang luar biasa.
“Aku keluar sebentar.” Gya membuka pintu.
Fitra terkejut.
“Aku mau cari tahu ada apa di depan.” Gya menutup pintu lalu melesat.
Tinggallah Fitra berdua Christie di dalam mobil. Keduanya kembali canggung. Duh, apa-apaan, sih, Gya?
Beberapa orang tampak berjalan di sisi kiri dan kanan mobil. Beberapa di antaranya saling mengobrol dan menanyakan keadaan, meski tak satu pun memberikan jawaban yang memuaskan. Toh, Fitra tetap berusaha mendengarkan. Siapa tahu ada informasi penting yang didapat.
“Ada apa, ya?” Fitra kembali menggumam.
“Entah.” Kali ini Christie yang menjawab.
Suasana di dalam mobil pun kembali hening. Sesaat. Hingga Christie mulai kembali membuka percakapan.
“Dapat salam dari teman-teman di ruangan.” Tiba-tiba Christie berkata.
Fitra tersentak. Ia lalu mengintip kaca spion dan tampak Christie yang tengah menatap lurus ke depan. Fitra merasa gugup ketika beradu pandang. Ia merasa Christie sedang menatapnya. Meski demikian, ia tetap berusaha menguasai diri.
“Wa alaikum salam.” Fitra menjawab pendek. Dan gugup. Ia sedang tidak ingin membicarakan kantor di situasi seperti ini.
“Pada tanya kapan kamu balik.” Christie kembali melanjutkan. Ia tampak tidak peduli.
Fitra terdiam. Perasaaannya campur aduk. Ada setitik rindu yang bercampur dengan rasa bersalah juga.
“Ngomong-ngomong, saya salut, lho, sama teman-teman di ruangan. Dalam kondisi seperti sekarang, mereka tetap masuk kantor seperti biasa. Padahal, ruangan lain sering kosong, karena orang-orangnya udah banyak yang nggak mau masuk kantor.” Christie berhenti sejenak. “Dan teman-teman selalu datang PAGI,” lanjutnya dengan menekankan pada kata “pagi”. Christie memang sengaja menyindir Fitra. Lebih jauh, Christie ingin “menyerang” Fitra.
Fitra lagi-lagi terdiam. Ia mulai merasa tidak nyaman. Sepertinya “serangan” Christie mulai “masuk”.
“Kalau kamu mau tahu, ya. Kami sering direpotkan dengan surat permohonan pindah yang banyak banget.” Christie diam sebentar menunggu reaksi Fitra. Namun, Fitra ternyata bergeming. “Saya pun kalau boleh milih.” Christie melirik sebentar, “maunya, sih, tetap di Kementerian Infrastruktur.”