Perjalanan Dinas

Nadya Wijanarko
Chapter #16

15 - SUMEDANG: Tentukan Arahmu!

Fitra tampak memegang kuat-kuat kemudi. Sorot matanya seakan menyiratkan keraguan. Mobil masih berada di lajur kiri dan beberapa kali disalip.

“Saya nggak khawatir dengan arah.” Fitra menggumam. “Begini-begini, saya orang Ditjen Perencanaan Wilayah. Kami terbiasa dengan peta.”

Gya melirik sekilas. 

“Dulu, waktu pertama kali saya mudik ke Yogya pakai mobil dua tahun lalu, saya tidak ada GPS sama sekali. Bekal kami cuma peta, baik peta dari kantor maupun peta yang kami beli lagi di toko buku. Waktu itu pun lewat jalur alternatif.” Fitra menoleh, lalu menggeleng. “Kami tidak tersasar.”

“Nah, berarti aman, kan?” ujar Gya.

“Saya….” Fitra tampak berkonsentrasi dengan jalan di depannya. Mobil melaju perlahan dan masih disusul kendaraan lain dari sisi kanannya. “...tidak khawatir dengan rute.” Fitra menghela napas. “Yang saya khawatirkan adalah kondisi jalanannya.”

“Tenang, Fit.” Christie akhirnya bicara juga. Nada suaranya jauh berbeda dengan sebelumnya. “Ini perjalanan kita bersama. Jangan ambil beban itu sendiri. Kita lalui bareng-bareng. Ya?”

Fitra menoleh ke belakang. Kemudian segera menghadap ke depan lagi.

Christie tersenyum … dan heran dengan kata-katanya barusan. Karena, saat ini pun ia tengah mengawal sebuah “perjalanan” yang lain. “Perjalanan” yang harus ia pastikan tiba di tujuan dengan selamat. “Perjalanan” yang bahkan tujuannya pun … entah! “Perjalanan” yang bahkan ia sendiri tidak ingin melaluinya. Dan ia pun tengah memikul beban itu sendirian–setidaknya itulah yang ia rasakan.

Christie menghela napas dan menyandarkan punggung. Matanya menatap keluar. Lalu tampak pohon-pohon yang seakan semakin cepat berlari. Ia pun kembali tersenyum. Fitra sudah lebih yakin tampaknya. Karena, laju kendaraan terasa semakin cepat.

Jalan di depan tampak menanjak dan berkelok. Meski demikian, kiri dan kanannya masih tampak padat dengan bangunan. Sebuah kompleks bangunan besar dan luas terpampang di kiri jalan dengan penunjuk nama besar-besar: Universitas Padjadjaran. Tak jauh dari situ, terdapat kompleks bangunan dengan pahatan nama yang sangat jelas: Institut Teknologi Bandung.

Fitra melirik sekilas ke papan nama kampusnya itu–ITB. Kampus ITB memang memiliki gedung di Jatinangor yang terhitung baru. Beberapa kelas kuliah ada yang mulai dipindahkan ke sana. Tentu saja tidak termasuk kelas kuliah yang diikuti Fitra. Karena, ini adalah pertama kalinya ia melihat bangunan kampus ITB cabang Jatinangor.

Jalan yang dilalui semakin menanjak. Barisan bangunan pun perlahan berganti rimbunan pepohonan. Hamparan sawah mulai terlihat. 

Fitra memelankan kecepatan ketika kembali terjadi antrean. Tampak kendaraan mulai memadat di dua lajur. Namun, kali ini bukan karena aksi unjuk rasa–yang lokasinya sudah terlalu jauh di bawah sana. Melainkan karena kondisi jalan yang berlubang. Mana angkutan-angkutan umum sesekali berhenti sembarangan pula.

Fitra semakin tampak berkonsentrasi. Ia memang tidak ada masalah sama sekali dengan rute. Toh, ini jalan utama. Hanya saja, Fitra merasa was-was. Entah kenapa, sejak memasuki Sumedang, perasaannya menjadi tidak enak. Meski, mungkin saja itu lebih karena pertengkarannya dengan Christie sebelumnya. Meski….

“Wow!” Gya spontan memegang gagang di atas pintu dengan tangan kirinya.

“Maaf, Mbak.” Fitra spontan menjawab.

Lihat selengkapnya