Sedan putih berlambang singa melaju melewati beberapa bangunan mirip tugu dengan susunan batu berwarna merah–sekilas mengingatkan pada banguna kuno kerajaan Majapahit. Sayup-sayup terdengar kumandang azan magrib. Gya pun semakin berhati-hati. Pergantian siang menjadi malam seperti ini memang rawan. Apalagi, Cirebon adalah simpul Jawa Barat dan Jawa Tengah yang menjadi favorit para penglaju di jalur Pantura. Kendaraan-kendaraan lintas Jawa banyak yang lewat sini. Harus ekstra hati-hati.
Samar-samar di kejauhan terlihat papan penunjuk jalan. Tertulis arah ke kiri menuju Jawa Tengah. Gya memelankan kecepatan sambil matanya fokus memperhatikan tulisan yang semakin mendekat itu.
“Itu, bukan?” Gya mencoba memastikan.
Fitra ikut memincing. Lalu melihat peta di tangannya. “Iya. Itu arah ke Jawa Tengah. Tapi jalan tol. Berani?” Fitra menoleh.
Gya tidak menjawab. Alih-alih, tangannya langsung menyalakan lampu sein kiri. Mobil pun membelok menuju tol. Sejujurnya, Gya agak gugup. Jalan tol tampak ramai. Mungkin karena masih termasuk tol dalam kota. Umumnya, tol dalam kota berfungsi juga sebagai ringroad alias jalur lingkar yang berfungsi memecah arus agar tidak menumpuk di tengah kota. Cirebon adalah salah satu yang memiliki tol ringroad, terutama untuk mengakomodir truk-truk besar. Terbukti, yang memenuhi jalan tol saat ini kebanyakan adalah truk.
Gya menurunkan kecepatan hingga hanya berkisar 60 kilometer per jam. Banyaknya truk membuatnya tidak berani memacu kendaraan lebih cepat. Sangat minimalis, memang. Yang penting selamat.
“Eh, mau isi bensin di rest area aja?” Gya teringat kalau tadi, di Majalengka, tidak jadi mengisi bensin.
“Oh, iya!” Fitra langsung melihat keluar. Matanya memindai kalau-kalau ada tanda rest area.
“Kira-kira masih jauh, nggak?” Gya melirik ke jarum penunjuk yang sudah kembali turun karena bensinnya berkurang. Mobil masih tetap berada di lajur kiri.
Fitra masih mengawasi jalan hingga tiba-tiba tangannya menunjuk ke suatu arah di depan. “Di situ aja, Mbak.”
Gya mengikuti arah telunjuk Fitra. Dan matanya pun menangkap sesuatu di kejauhan. Sebuah papan bertuliskan “Rest Area”. Ia lalu menyalakan lampu sein kiri dan berbelok masuk. Hari ini, kendaraan tidak terlalu banyak. Mungkin karena bukan akhir pekan, dan bukan musim liburan juga.
Kecepatan mobil memelan hingga nyaris berhenti ketika sebuah ujung kubah masjid tampak menyembul di depan.
“Sekalian istirahat dulu aja kali, ya? Soalnya magrib. Sambil tunggu magribnya turun dulu,” usul Gya. Ia kemudian memarkir mobil di sela-sela dua garis yang ada di depan masjid. Tempat parkir hari itu
Fitra membuka pintu dan keluar. “Bu Christie kalau mau makan duluan silakan, lho,”ujar Fitra.
“Iya. Gampang.” Christie tersenyum. Ia pun keluar dari mobil juga.
Gya dan Fitra menuju masjid, sedangkan Christie hanya pindah duduk ke tanggul pembatas antara halaman masjid dan tempat parkir.
…
Hari semakin gelap. Namun, kendaraan-kendaraan masih betah berseliweran. Beberapa masuk ke rest area. Sementara kendaraan-kendaraan besar berbelok ke sisi belakang, kendaraan-kendaraan kecil melaju lurus, melewati depan masjid, dan sebagian berhenti untuk parkir. Sebagian kendaraan lain memilih berjalan lebih jauh, mungkin untuk mencari tempat berhenti yang lebih dekat dengan rumah makan. Ada banyak rumah makan, sih, di sini. Jadi, harusnya Fitra tidak perlu repot-repot membelikan makanan di Majalengka tadi.
Christie duduk di tanggul menghadap ke arah jalan tol. Kotak makannya yang sudah habis ditaruh di samping. Ia mengelap tangannya dengan tisu yang kemudian ditaruh di dalam kotak makannya itu. Kedua temannya sepertinya masih betah di dalam masjid. Mungkin sedang beristirahat. Biar sajalah. Kan, tadi keduanya sudah menyetir jauh. Lelah, pasti.
Terdengar suara pria mengimami salat dengan bacaan surat di Al-Qur’an dari dalam masjid. Terasa sejuk di telinga, seakan oase di antara deru kendaraan yang datang silih berganti. Beberapa kali kendaraan besar menggeram keras dengan sinar lampunya yang menyilaukan seolah menyuruh kendaraan-kendaraan kecil untuk menyingkir. Getarnya pun terasa di tanah.
Sebuah suara mengalihkan perhatian. Rupanya, ponsel Christie yang berbunyi. Ia pun mengambilnya dari saku celana.