Sumpah! Christie merasa kepalanya benar-benar mau meledak! Kesabarannya terhadap Fitra habis sudah. Apa, sih, yang ada di otaknya? Kalau memang mobilnya bermasalah, bilang dari tadi, dong!
Sekarang, mobil mogok di rest area jalan tol. Jelas jauh dari permukiman atau tempat orang beraktivitas. Mau cari bengkel di mana? Mau minta tolong ke siapa? Bahkan, mau melanjutkan ke Yogyakarta dari sini sekalipun, memangnya bisa?
Dalam sekejap, semua “dosa” yang pernah dilakukan Fitra seolah terpampang di hadapan Christie seperti deretan slide dalam Powerpoint Presentation yang biasa digunakannya pada saat rapat. Tentu saja! Fitra yang selalu datang terlambat ke kantor; Fitra yang tidak pernah menghadiri upacara bendera di kantor; Fitra yang selalu ngeyel; Fitra yang main kabur cuti; Fitra yang seenaknya saja membatalkan beasiswa dan membuat Christie harus pasang badan di hadapan petinggi; Fitra yang….
Argh!
Christie menghentikan langkah dan membalik badan. Peugeot 405 putih yang tadi diparkir di depan masjid sudah tidak terlihat, begitu pula masjidnya. Tampaknya, tanpa sadar ia sudah berjalan sangat jauh. Rasa kesal terhadap Fitra membuatnya melangkah hingga nyaris ke ujung komplek rest area, di dekat SPBU sebelum pintu keluar.
Kini, ia mulai merasakan lelah. Ia pun meminggir dan duduk di tanggul. Pandangannya terpaku pada lalu lalang kendaraan di depannya. Pikirannya serasa kosong. Rasanya hingga kemarin hidupnya masih “normal”. Kini, ia seperti anak hilang yang lontang-lantung di pinggir jalan. Mungkin memang benar yang dikatakan Yos kalau ia memang terlalu memaksakan diri. Buat apa segitunya mengusahakan ke Yogyakarta dengan kondisi kehabisan tiket? Memang sepenting apa rapat yang harus dihadirinya? Sepenting apa juga, sih, seorang Christie? Bukankah di rapat tersebut ada Ferdi, bahkan Menteri Infrastruktur yang levelnya jauh di atasnya? Hanya saja … bagaimana jika kesalahannya yang dulu kembali diungkit?
Christie menunduk sambil menutup wajah. Seandainya saja dulu itu ia tidak “melakukannya”; seandainya saja dulu ia tidak melakukan kesalahan sefatal itu. Mungkin ia tidak perlu memposisikan dirinya sebagai “budak birokrasi” yang “bersedia diperlakukan apa saja.” Sesal, memang selalu muncul belakangan.
Tapi setelah itu, kan, kamu berubah?
Berubah … atau menghukum diri?
“Permisi, Bu.”
Sebuah suara membuyarkan lamunan Christie. Ia pun menengadah dan tampaklah seorang petugas SPBU–seorang laki-laki muda–yang menyapanya.
“Eh, iya.” Christie pun berdiri.
“Ibu kenapa? Ada yang bisa dibantu?” tanya petugas itu.
“Eh … anu, Mas.” Christie gugup dan bingung. “Kira-kira, di mana saya bisa minta tolong, ya?”
Petugas itu tampak terkejut. “Minta tolong apa, Bu?”
“Mobil saya … mogok, Mas.” Christie kembali menoleh ke belakang.
“Di mana mobilnya, Bu?”
“Di….” Lagi-lagi Christie menoleh ke belakang. “...depan masjid, Mas.”
“Mereknya?”
Christie berusaha mengingat-ingat. “Sedan–Peugeot 405. Warna putih.”
“Baik, Bu.” Petugas itu mengeluarkan handy talkie dari pinggangnya. “Halo … ada mobil trouble di depan masjid.” Ia kemudian menjauh.
Christie menatap petugas SPBU itu dan menunggu dengan pasrah. Siapa tahu memang ada yang bisa menolong, kan?
Petugas itu tampak berjalan kembali menghampiri Christie. “Ibu silakan menunggu saja di mobil. Nanti akan ada mekanik yang datang.”
“Terima kasih, Mas.” Air muka Christie berubah lega.
…
Fitra berjalan mondar-mandir dengan telepon menempel di telinga. Ia tampak begitu gelisah sambil sesekali melihat layar ponsel Gya yang juga dipegangnya. Sesekali juga jempolnya tampak menggulir di atas layar. Dan wajahnya tampak tegang ketika telepon slide-ny kembali diturunkan dari telinga.
“Nggak ada yang jawab, Mbak.” Fitra kian cemas.
Gya tidak menanggapi. Pandangan matanya menyapu ke mana-mana dengan satu tujuan: menemukan Christie. Ia benar-benar tidak menyangka dengan reaksi Christie yang penuh emosi, yang bahkan sampai keluar dan membanting pintu mobil. Ia kini mengkhawatirkan teman baiknya itu–belum pernah ia melihat Christie semarah itu.
Kendaraan silih berganti memasuki rest area. Beberapa kendaraan yang diparkir di depan masjid pun sudah pergi–dan kemudian berganti dengan kendaraan yang lain. Yang tetap tinggal hanyalah Peugeot 405 berwarna putih milik Fitra.
Fitra masih belum menyerah. Ia masih gigih; mondar-mandir gelisah dengan dua handphone di tangan. Beberapa kali ia tampak mencoba menelepon dengan handphone slide kecilnya. Beberapa kali pula ia tampak mengetik. Dan selalu berakhir dengan raut wajah kecewa.
Gya berdiri sambil celingukan di dekat mobil. Pandangannya menerawang, hingga kemudian matanya menangkap sesuatu.
“Chris!” Gya benar-benar girang melihat Christie akhirnya kembali juga.
Christie melangkah mendekat, lalu tersenyum.
“Chris, maaf….”
“Aku tadi udah minta tolong ke petugas di sini. Katanya, dia mau kirim mekanik,” potong Christie. Matanya kemudian langsung beralih ke Fitra.
Tampak Fitra yang sepertinya semakin panik. Kedua tangannya masih memegang telepon genggam dan masih berusaha menelepon juga. Kakinya masih melangkah bolak-balik, meski akhirnya berhenti juga ketika matanya tanpa sengaja beradu pandang dengan Christie. Fitra tampak gugup, lalu menutup telepon dan menghampiri Christie. Kepalanya sedikit menunduk.
“Saya tadi dapat beberapa nomor telepon bengkel, Bu,” ujar Fitra dengan kepala menunduk. “Tapi nggak satu pun yang mengangkat telepon saya. Saya juga udah kirim SMS, tapi belum dibalas.” Ia melaporkan upaya yang sudah dilakukannya.
Christie tidak menjawab. Ia lebih tertarik memperhatikan bahasa tubuh Fitra yang tidak seperti sebelumnya. Fitra seolah tidak berani bertatapan mata dengannya. Padahal, biasanya ia tidak seperti ini. Ia biasanya berdiri dengan kepala tegak dan kadang cenderung pongah penuh percaya diri, siap beradu debat dengan siapa pun yang menantang.
“Saya akan usahakan lagi, Bu.” Fitra kembali mengutak-atik ponsel.
“Nanti aja, Fit,” cegah Christie.
“Ya?” Fitra menengadahkan kepalanya.
“Saya tadi sudah minta bantuan ke petugas di sini. Katanya dia mau panggil mekanik. Kita tunggu saja dulu.” Suara Christie terdengar lebih lembut, tidak tinggi seperti ketika meninggalkan mobil.
“Baik, Bu.” Fitra menutup slide Nokia C2-nya.
“Bu?” panggil Fitra, dengan kepala masih menunduk.