Perjalanan Dinas

Nadya Wijanarko
Chapter #27

26 - CIREBON: Persaudaraan

Petugas yang berjaga di pintu tol tampak melambaikan tangan ketika mobil derek tiba. Rupanya, mereka saling kenal. Mobil pun lewat tanpa membayar, lalu berbelok memutar ke kiri, kemudian ke kanan, meliuk-liuk mengikuti jalan yang membentang. 

Pagi ini, jumlah kendaraan di jalan raya masih sedikit sehingga mobil derek besar itu tidak membuat macet meski tetap saja terlihat mencolok. Setidaknya, beberapa orang di pinggir jalan tak jarang menoleh sejenak.

Kendaraan mulai berbelok memasuki jalan yang lebih kecil. Sepertinya lokasi bengkel berada di tengah-tengah permukiman. Fitra yang biasanya begitu jeli memperhatikan jalan kali ini sedikit luput dan nyaris tidak ingat dengan belokan demi belokan yang dilewatinya. Begitu pula dengan Christie yang sedikit gagap dengan daerah yang baru kali itu disinggahinya; melewati sekolah, menyeberangi jembatan, melintasi tepi lapangan luas tempat beberapa pedagang kaki lima mulai menggelar lapaknya dan anak-anak sekolah berlarian menunggu dimulainya jam pelajaran sekolah. Hingga kemudian jalan terasa menanjak, dan semakin menyempit. Beberapa kali kendaraan berhenti karena berpapasan dengan kendaraan lain di depannya. Dengan ukuran sebesar ini, mau tidak mau salah satunya harus mengalah.

Laju kendaraan mulai memelan, kemudian berhenti. Mekanik yang berada di dalam Peugeot 405 menoleh ke kiri karena melihat papan nama dengan lambang singa bertengger di pinggir jalan.

“Itu bukan, ya?” gumamnya.

Fitra ikut menoleh. Memang, di situ terpampang sebuah papan nama dengan lambang singa yang menjadi ciri khas Peugeot. Di dalamnya pun terhampar halaman luas dengan beberapa mobil terparkir. Namun, tidak ada bangunan, atau apapun, yang menunjukkan itu adalah bengkel.

“Atau yang di sana, kali?” Gya yang duduk di sisi kanan melongok keluar dan menunjuk sebuah papan nama di salah satu rumah yang juga menggunakan lambang singa Peugeot.

Gya memincingkan matanya untuk melihat lebih jelas papan nama tersebut. “Peugeot Club Cirebon,” ujarnya.

Mekanik itu kemudian berteriak kepada rekannya yang mengemudikan truk derek untuk kembali berjalan beberapa meter lagi. Lalu, tepat di depannya, kendaraan berhenti. Mekanik yang membawa Peugeot mencoba memarkirkan mobil dengan posisi sangat berhimpitan dengan pagar agar tidak mengganggu kendaraan lain yang akan lewat.

Fitra turun dari mobil dan mendekati pintu pagar yang ternyata masih digembok. Di balik pagar, tampak mobil-mobil diparkir hingga memenuhi seluruh halaman rumah. Seandainya Peugeot 405 miliknya dipaksakan masuk pun rasanya sudah tidak ada tempat. Benarkah ini bengkelnya?

Fitra kembali menelepon. Dan pada saat itu juga, seorang pria tua menghampiri dari balik pagar dan membuka gembok.

“Selamat datang, Mbak,” ujarnya sambil tersenyum. “Susah nyarinya?”

Fitra pun menengadah dengan semringah. “Enggak juga, Pak,” jawabnya. Ia tampak begitu senang. Mudah-mudahan, ada solusi untuk mobilnya yang mogok sejak semalam itu.

Fitra memperhatikan pria tua itu. Pakaiannya sangat sederhana, hanya kaos oblong dan celana pendek. Namun, sorot mata dan air mukanya menunjukkan aura kecerdasan tinggi, menyiratkan bahwa ia bukan orang sembarangan. Fitra menduga kalau pria itu adalah si pemilik bengkel–Pak Ali Muhyidin.

“Silakan masuk, Mbak,” ajaknya. 

Fitra melirik sekilas mobilnya. Tatapannya agak ragu. Apa tidak apa-apa mobilnya diparkir di luar begini?

“Taruh di situ saja mobilnya. Nggak apa-apa.” Seorang pria yang lebih muda keluar dari dalam rumah. “Nanti saya perbaiki di situ saja.” Pria itu melempar senyum.

Fitra memperhatikan pria tersebut–pria berkumis tipis yang usianya mungkin sekitar tiga puluh tahunan akhir atau empat puluh tahunan awal. Rasanya Fitra pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, ia lupa.

Gya dan Christie turun dari mobil. Begitu pula dengan mekanik yang bersama mereka.

Christie baru akan melangkah masuk ke dalam bengkel ketika lengannya tiba-tiba dicolek.

“Maaf, Mbak.”

“Ya?” Christie membalik badan.

“Sebelumnya … saya mohon maaf, Mbak.” Mekanik itu kembali meminta maaf. Ekspresinya terlihat sungkan.

“Kenapa, Mas?”

“Ini … soal biaya….” Mekanik itu melanjutkan.

Biaya? Christie bingung.

“Begini ... kalau untuk derek sampai keluar pintu tol, memang tidak dikenai biaya karena ini bagian dari pelayanan kami.” Mekanik itu menjelaskan. “Tapi, kalau sudah keluar pintu tol … beda lagi, Mbak,” lanjutnya.

Christie melongo. Jujur, batinnya merasa jengkel. Kenapa tidak bilang dari tadi ketika masih di rest area?

“Berapa, Mas?” Christie tetap tersenyum juga.

“Semuanya 450.000 rupiah,” jawab si mekanik.

Christie tidak menanggapi. Ia langsung meraih dompet dari saku celana dan membukanya. Sebanyak sembilan lembar berwarna biru bergambar komposer lagu kebangsaan Indonesia pun berpindah tangan. Dompetnya yang tadi gemuk kini melangsing.

Lihat selengkapnya