Enam puluh kilometer per jam. Atau jangan-jangan malah di bawah itu. Karena, berkali-kali kaki Christie berpindah dari pedal gas ke rem. Melanggar aturan, memang. Namun, bukan salahnya juga. Toh, jalanan sedang sepi.
Tol Kanci-Pejagan ternyata tidak semulus yang terlihat. Beberapa kali terdapat lubang yang membuat mobil harus mengurangi kecepatannya jika tidak ingin berguncang,
Peugeot 405 putih itu mengambil jalur paling kiri. Pengemudinya cukup tahu diri untuk tidak mengganggu pengendara lain. Lagipula, bukankah peraturan lalu lintas menyebut bahwa kendaraan harus berada di lajur kiri dan lajur kanan untuk mendahului?
Christie sendiri juga tidak sedang terburu-buru. Tepatnya, ia sudah tidak terlalu bernafsu untuk tiba secepatnya di Yogyakarta. Tergantung kondisi saja. Kalau memang memungkinkan, tentu Christie akan bergabung dalam rapat. Namun, jika tidak … ya sudahlah! Benar kata Yos kemarin. Lebih baik pulang saja. Seberapa penting memangnya kehadiran pejabat eselon III di tengah-tengah rapat yang dihadiri para pejabat tinggi selevel menteri? Hanya saja, mobil ini sudah melaju lebih dari separuh jalan. Tidak mungkin memutar balik. Lagipula … pemilik mobil ini harus ke Yogyakarta, kan?
Christie melirik ke samping. Fitra tampak memejamkan mata. Rupanya ia tertidur. Christie kemudian melirik kaca spion, dan ia pun melihat Gya yang juga tertidur. Dengan begini, ia satu-satunya orang yang terjaga. Payah! Masa ia dibiarkan sendirian begini?
Membunuh sepi, Christie akhirnya menyalakan radio. Terdengar gemerisik suara yang tidak jelas. Tangan kirinya dengan lincah menekan tombol panah hingga sebuah siaran berita terdengar jelas.
“Pendengar, salah satu pelaku penyerangan pos polisi di Purbalingga hingga saat ini belum tertangkap. Polisi semakin mengintensifkan pencarian, serta menghimbau masyarakat untuk berhati-hati dan segera melapor kepada pihak berwajib jika ada yang mencurigakan.”
Lagi-lagi aksi teror.
Christie kembali memelankan mobil ketika melihat lubang beberapa meter di depannya. Sebuah mobil mengklakson pelan dari belakang, pertanda ingin menyusul. Ia pun menyalakan lampu sein kiri untuk mempersilahkan mobil tersebut menyalip–sebuah kode yang baru ia pelajari dalam perjalanan ini.
Christie menatap fokus pada jalan di depannya. Ia tahu persis, berdasarkan dokumen perencanaan, jalan tol ini akan tersambung sepanjang pulau Jawa untuk memecah arus lalu lintas di jalur Pantura. Sayangnya, hingga kini kondisi jalan masih saja belum mulus. Entah apa yang salah. Mungkin karena kendaraan masih jarang yang lewat sehingga–mungkin–perawatannya sedikit terabaikan–mungkin, lho!
Christie sadar bahwa ia bukan termasuk orang yang berhak mengeluh. Bukankah instansi tempatnya bekerja adalah yang paling bertanggung jawab terhadap pembangunan infrastruktur jalan?
“Kami sudah mendeteksi pergerakan kelompok-kelompok radikal yang belakangan sering mengganggu keamanan.”
Kembali terdengar suara dari radio. Kali ini, yang berbicara sepertinya adalah aparat kepolisian.
“Kami harap masyarakat waspada dan segera melaporkan apabila ada sesuatu yang mencurigakan. Kami juga menghimbau agar perangkat-perangkat masyarakat di level RT dan RW sigap mendata para pendatang baru.”
Terdengar kembali lanjutan pernyataannya.
Tiba-tiba saja Christie merasa gelisah. Seumur-umur melakukan perjalanan dinas, baru kali ini ia merasa betapa perjalanan yang ia lakukan terasa begitu panjang. Padahal hanya dari Bandung ke Yogyakarta. Namun, entah kenapa, ia merasa seakan tengah melakukan perjalanan tanpa ujung. Dengan entah kejadian-kejadian apalagi yang menantinya di depan sana.
Christie akhirnya mematikan radio. Pemberitaan mengenai aksi kelompok radikal hanya semakin mengganggu pikirannya. Untungnya, flashdisk kecil berwarna putih-biru berbentuk seperti telur bebek itu masih menancap. Ia lalu menekan tombol untuk mengganti radio dengan lagu-lagu bajakan random yang ada di flashdisk. Tak lama, alunan gitar pun mengalun lembut. Diikuti suara merdu Alanis Morissette yang mulai terdengar menyenandungkan “Ironic”. Christie pun terhanyut.
Seperti “Ironic”, Christie pun merasa saat ini hidup tengah mempermainkannya dengan simfoni ironi. Ketika ia merasa semuanya baik-baik saja, tahu-tahu hidup memiliki jalannya sendiri yang membuat semua menjadi berantakan. Ia mencoba mengingat-ingat semua yang terjadi; pemerintahan baru, pembentukan kabinet, restrukturisasi organisasi, mutasi massal, pembangkangan pegawai–termasuk Fitra. Tentu saja, jangan lupakan juga lobi-lobi petinggi yang … ah, entahlah!
TIN!