Perjalanan Dinas

Nadya Wijanarko
Chapter #39

38 - BANYUMAS, HINGGA KROYA DAN NUSAWUNGU: Trust

Jalur masih berkelok-kelok di sepanjang jalan pegunungan di Banyumas. Beberapa kendaraan tampak melewatinya, termasuk sedan putih berlambang singa yang dikendarai Fitra.

Fitra memegang kemudi dengan erat. Wajahnya tampak tegang. Mobil sendiri dipacu dengan agak kencang. Setidaknya, beberapa kali mobil menyusul kendaraan di depannya.

Sebuah truk besar tampak menghalangi jalan. Fitra terlihat gelisah karena jalanan yang menanjak. Beberapa kali ia membunyikan klakson dengan tidak sabaran, sambil sesekali melongok ke sisi kanan. Ia lalu menekan tombol “SPORT” yang ada di perseneling dan menginjak pedal gas kuat-kuat. Mobil pun melesat dan menyusul truk tersebut.

Gya tampak terkejut. Spontan, ia segera meraih dan memegang kuat-kuat handle di atas pintu. Ia melirik sekilas. Tampak raut wajah Fitra yang mengeras. Tentu saja, ia tidak berani menegurnya. Gya masih shock dengan sikap Fitra tadi di pom bensin.

Mobil terus melaju hingga akhirnya tiba di sebuah perempatan besar. Lampu lalu lintas menyala merah sehingga mobil pun berhenti. Terlihat papan penunjuk jalan, tertulis Yogyakarta ke kiri, Kroya lurus, dan Cilacap ke kanan. 

Gya merasa heran karena Fitra menghentikan mobil padahal terdapat tanda belok kiri langsung. Namun, ia diam saja. Meski dalam hati ia menduga kalau Fitra akan mengambil keputusan lain.

Benar saja. Ketika lampu menyala hijau, mobil malah bergerak lurus.

“Fit, bukannya harusnya ke kiri?” Gya bingung. Ia menoleh ke arah kiri. 

“Lewat Kroya.” Fitra menjawab singkat dan dingin.

Gya menatap Fitra. Ia semakin bingung. Kemudian menoleh ke belakang menatap Christie. Christie pun tampak speechless.

“Kan saya udah bilang kemarin. Lepas Purwokerto, saya hafal jalannya.” Fitra melanjutkan.

“Iya … tapi ngapain lewat Kroya?” Gya masih menuntut penjelasan.

“Saya cari jalan yang tidak terlalu ramai. Saya nggak suka jalan ramai.”

Sedan putih berlambang singa itu terus melaju–menuju arah Kroya. Arus yang tadinya lancar perlahan mulai tersendat ketika mobil memasuki pasar, terlihat dari bangunan-bangunan kios di pinggirnya. Orang-orang tampak hilir mudik. Sementara di depan sana tampak palang pintu kereta api yang terbuka. Rupanya sudah dekat Stasiun Kroya.

“Kok macet begini, sih?” Tiba-tiba Fitra bertanya–entah ditujukan kepada siapa.

“Namanya juga pasar, Fit.” Gya mencoba menimpali.

“Jalan yang melalui perlintasan rel kereta api begini harusnya dikasih jalan layang.” Fitra menatap pada perlintasan kereta api di depannya. Ada beberapa mobil yang membuatnya mengantre.

Gya ikut menatap perlintasan yang palangnya terangkat itu. Tolong sirenenya jangan berbunyi dulu.

“Ini adalah masalah infrastruktur. Harusnya dibuat infrastruktur yang memudahkan masyarakat, supaya nggak macet kaya begini.” Fitra lagi-lagi meracau.

“Eh, iya, lupa! Kan saya sudah tidak bekerja di Kementerian Infrastruktur lagi, ya? Ya sudah, saya titip ini ke yang masih di sana saja. Orang-orang yang kerja di situ, kan, pintar-pintar. Memangnya saya yang orang buangan?” Fitra tertawa sinis.

Gya menghela napas. Baginya, sikap Fitra sudah sangat tidak lucu!

Mobil akhirnya berhasil melewati perlintasan. Fitra dengan yakin menyalakan lampu sein ke kiri dan berbelok. Dan ketika mobil kembali bertemu dengan perempatan, Fitra kembali membelokkan mobil ke kanan.

“Kita mau ke mana, sih?” Gya mulai bingung karena jalan yang dilalui lebih kecil dan sepertinya bukan jalan utama. Tampak beberapa rumah di kiri dan kanan jalan seolah mereka tengah melewati perkampungan.

“Ke Yogya.” Fitra kembali menjawab sekenanya.

“Iya. Tapi lewat mana?” Gya kembali bertanya.

“Percaya aja sama saya.” Fitra terkesan begitu percaya diri.

Gya pun kesal juga. “Gimana mau percaya? Kamu nggak sadar dari tadi nyetir ugal-ugalan?”

Fitra menoleh. “Siapa yang ugal-ugalan?”

“Tadi kamu nge-gas kenceng banget.” Gya mengingatkan.

“Itu namanya ‘kick-down’. Itu teknik pindah gigi untuk mobil matic,” jawab Fitra.

“Terserah. Tapi bisa nggak kamu nyetir tanpa emosi?” Gya kembali menyentak.

Fitra menoleh lagi sekilas. “Saya nggak emosi.”

Gya kembali menghela napasnya. Ia kembali melirik ke belakang.

Christie langsung paham. Ia segera membuka peta di ponsel. Menurut GPS yang terpampang di layar, jalan yang dilalui Fitra memang tidak salah. Arahnya memang menuju ke selatan. Namun, nanti di depan ada pertigaan dan arah Yogyakarta tinggal berbelok ke kiri, ke arah timur. Itu adalah jalan yang sejajar dengan jalan utama–Jalur Lintas Selatan Selatan. Kalau diikuti, nanti juga akan tiba di Yogyakarta.

Meski demikian, kata-kata Gya barusan tampaknya didengar. Setidaknya, Christie merasa kalau kecepatan mobil berkurang. Namun, untuk memastikannya, ia pun membuka fitur driving di ponselnya. Tertera angka 40 kilometer per jam. Tidak persis juga, sih. Angkanya sendiri berubah-ubah. Namun, itu adalah kecepatan normal untuk melaju di jalan seperti ini.

Jalan yang relatif lowong dann lancar membuat mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di Jalur Lintas Selatan Selatan. Fitra kemudian menyalakan lampu sein kiri dan kembali membelokkan mobil. Sikap Fitra begitu yakin seolah itu adalah daerahnya.

Sebenarnya, Jalur Lintas Selatan Selatan, alias JLSS, adalah jalur alternatif juga di selatan pulau Jawa. Cuma memang belum populer. Mobil-mobil kecil saja jarang. Apalagi kendaraan besar seperti bus dan truk. 

Meski demikian, pemandangan terlihat asri dengan pohon-pohon tinggi menjulang. Di sisi selatan jalan, pohon-pohon kelapa berderet dan tampak menyembul, terlihat dari jauh.

Fitra mematikan AC dan membuka kaca jendela mobilnya.

“Kacanya dibuka saja. Anginnya sejuk, kok. Ini untuk menghemat bensin juga,” pinta Fitra. Nada suaranya terdengar melunak lagi. Entah karena memang emosinya mereda, entah karena pasrah.

Tanpa diminta dua kali, Gya langsung membuka kaca jendela di samping kirinya. Begitu juga dengan Christie. Suasana hati Fitra sepertinya sudah membaik. Mudah-mudahan. Jadi, sebaiknya jangan dipancing naik lagi.

Lihat selengkapnya