Gya mengemudikan mobil yang kini berbalik arah menuju Karangbolong. Tampak bentang alam yang begitu indah dengan gunungan karang menjulang di sisi kiri dan sungai besar memanjang di sisi kanan. Langit biru cerah dan sembulan samar-samar berwarna hijau pulau Nusakambangan nun jauh di seberang membuat siang itu begitu memukau. Sayang, tidak demikian dengan suasana di dalam mobil. Ketiga penumpangnya tampak saling diam.
Mobil kembali ke titik persimpangan di seberang jembatan yang sebelumnya dilewati. Kemudian berbelok ke arah kiri dengan lajur menyerong. Jalanan mulai terasa menanjak. Terlihat gapura bertuliskan “Kawasan Wisata Pantai Ayah dan Karangbolong”.
Ketiga sahabat itu masih diam. Tampaknya pertengkaran hebat barusan cukup ampuh membuat mereka canggung satu sama lain. Hanya terdengar gerungan mesin mobil yang berusaha menyusuri jalanan yang semakin lama semakin menanjak itu.
Gya melirik sisi kanan jalan yang sepertinya adalah jurang, dan langsung berhadapan dengan laut–sekilas terlihat. Sepertinya itu adalah spot bagus untuk mengambil foto. Soalnya, terdapat lahan cukup luas di sisi kiri yang bisa digunakan untuk memarkir kendaraan. Namun, tentu saja tujuan mereka saat ini bukan untuk berhenti apalagi mengambil gambar.
Gerungan mesin semakin menjadi. Gya pun menurunkan tuas perseneling ke gigi yang lebih rendah. Padahal tadi ia sudah menggunakan gigi dua. Akan tetapi, sepertinya tanjakan ini masih terlalu curam untuk gigi dua.
“Ambil ancang-ancang dulu, lalu injak pedal gas dalam-dalam. Di-‘kick-down’, Mbak.” Fitra memberi tahu.
Gya tidak menjawab. Namun, ia menuruti saran Fitra. Ambil ancang-ancang, lalu injak pedal gas dalam-dalam. Hanya saja, perkiraannya selalu meleset. Karena mobil justru semakin kepayahan. Beberapa kali tanjakan dan mobil seakan kehilangan kekuatannya, terutama ketika ada tikungan.
Christie yang duduk di belakang mulai khawatir. Tanjakan semakin curam. Sedangkan, sepertinya, jarak yang harus ditempuh masih jauh. Setidaknya, begitulah perkiraan Christie ketika memantau peta melalui GPS di ponselnya.
Gya melirik odometer. Tampak temperatur mesin beranjak naik, terlihat dari jarum penunjuknya yang terus bergeser. Ia kembali menginjak pedal gas dalam-dalam ketika lagi-lagi bertemu tanjakan, diikuti tikungan. Dan lagi-lagi, perkiraannya kembali meleset karena mobil seolah kepayahan untuk mencapai posisi di dataran yang lebih tinggi.
Sementara itu, jarum penunjuk temperatur pelan-pelan mulai melewati angka 90 derajat Celcius, dan semakin bergerak cepat menuju 100, bahkan lebih. Tiba-tiba terdengar bunyi seperti alarm.
Fitra sontak terkejut, kemudian melirik odometer di depan Gya. Wajahnya langsung terlihat panik ketika tulisan “STOP” berwarna merah muncul berkedip-kedip.
“Mbak, berhenti dulu!” Fitra menunjuk layar odometer.
Gya akhirnya ikut panik. “Ini kenapa, Fit?”
“Radiatornya kepanasan.” Fitra kembali menunjuk odometer, kali ini ke jarum temperatur. Sudah 110 derajat Celcius! Bisa-bisa overheat!
“Minggir ke situ dulu!” Fitra menunjuk ke sempadan yang cukup lowong di depannya.
Gya menepikan mobil dan mematikan mesin. Meski demikian, suara berisik dari deru kipas angin radiator masih berbunyi.
“Bagaimana sekarang?” Gya semakin panik.
Fitra pun bingung. “Yang penting matikan mesinnya saja dulu.” Matanya kemudian celingukan, berharap menemukan warung atau rumah penduduk yang orangnya bisa dimintai tolong. Hanya saja, sepanjang mata memandang, yang terlihat hanya rimbunan pohon.
“Sampai kapan?” tanya Gya lagi.
“Sampai....” Fitra berpikir sejenak, “mesinnya dingin.” Ia kali ini benar-benar tidak ada ide.
“Iya. Itu kapan?” Tiba-tiba suara Christie muncul.
Fitra diam saja. Sejujurnya, ia tidak ingin berbicara dengan Christie saat ini.
“Berapa lama mesinnya bakal dingin?” Christie kembali bertanya. Ada tekanan dalam nada suaranya.
Fitra lagi-lagi hanya terdiam.
“Puas kamu sekarang?” bentak Christie.
Fitra tersentak. Emosinya kembali terpancing. Ia pun menoleh ke belakang. “Apa maksud Anda?”
Kali ini Gya yang terkejut. Ia pun menoleh. Apa-apaan Fitra? Dalam kondisi seperti ini bisa-bisanya memancing ribut!
“Kalo kamu nggak aneh-aneh milih jalan sepi, kita nggak akan terjebak di sini!” Suara Christie semakin meninggi.
Duh, ini lagi! Gya menoleh ke belakang.
“Siapa yang terjebak? Kan, udah saya bilang, tunggu aja sampai mesinnya dingin.” Fitra menjawab cepat.
“Iya! Ditunggu sampai kapan? Kamu sadar nggak ini di atas gunung, di tengah hutan? Sekarang kamu mau minta tolong sama siapa? Kamu sudah membahayakan saya dan Gya!” Christie benar-benar marah.
“Ya udah! Kalo nggak mau bareng saya lagi, silakan keluar! Silakan jalan kaki saja sana ke Yogya!” tantang Fitra.
Christie kehabisan kata-kata. Napasnya kembang-kempis seakan mau meledak. Dan akhirnya, ia pun membuka pintu dan keluar.
“Chris!” Gya terkejut. Ia pun ikut keluar.
“Chris!” Gya memanggil sekali lagi.
“APA?!” Christie tanpa sadar berteriak.
“KAMU NGAPAIN KELUAR? MAU JALAN KAKI KE YOGYA?” Gya ikut berteriak juga. Tingkah kedua temannya itu benar-benar membuat kesabarannya habis.
“Kamu mau jalan kaki? Atau mau nunggu angkot? Nunggu bus? Panggil taksi? Kamu pikir ini di mana? Serpong? Bintaro? Blok M? Ini di atas gunung, Chris!” Gya tampak begitu emosi.
Fitra akhirnya ikut keluar juga.
“SAYA CAPEK SAMA KALIAN!” Kali ini Gya yang meledak.
Fitra pun terkejut. Sedangkan air muka Christie langsung berubah.
“Kenapa, sih, kalian berantem terus? Nggak bisa, ya, kalian menyelesaikan masalah kalian secara dewasa? Kalian itu bukan anak kecil lagi!”
Christie menunduk. Emosinya sedikit mereda. Begitu juga dengan Fitra. Terlihat raut wajahnya yang tampak bingung, dan merasa bersalah juga.
“Maaf, aku mungkin bukan orang yang tepat untuk ngomong. Aku sama sekali nggak merasakan yang kalian rasakan dan aku nggak ada di posisi kalian. Tapi....” Gya berhenti sebentar.
“Kalian berdua itu temanku.” Gya kembali berhenti. Air mukanya menunjukkan keputusasaan.
Christie dan Fitra masih terdiam. Keduanya tampak salah tingkah. Raut wajah mereka menyiratkan perasaan tidak enak satu sama lain.
“Maaf, Mbak.” Akhirnya terdengar juga suara Fitra.
Gya menoleh. Tampak Fitra yang melangkah kembali ke mobil, menuju tempat duduknya tadi dan merogoh sesuatu dari bawah dashboard. Sebuah suara terdengar dari bagian depan mobil. Kap mobil lalu dibuka.
Gya mendekati Fitra yang tengah mengaitkan kap.
“Biar cepat dingin.” Fitra berkata meski tidak ditanya.
Gya memperhatikan isi kap mobil.
“Tunggu saja,” ujarnya lagi.