Perjalanan Dinas

Nadya Wijanarko
Chapter #43

42 - DI SUATU TEMPAT ANTAH BERANTAH: Dari Hati

Gelap. Christie hanya bisa merasakan gelap. Ia tidak tahu akan ke mana meski kakinya terus melangkah. Ia hanya bisa mengikuti dua orang yang membawanya dengan mencengkeram keras kedua lengannya itu. 

“Bawa ke sini dulu!” Terdengar sebuah suara.

Christie lagi-lagi hanya mengikuti. Bahkan, ia tidak bisa membedakan kiri dan kanan. Gelap membuatnya mengalami disorientasi total.

“Berlutut!” 

Seseorang memberikan perintah sambil menekan tubuhnya ke bawah. Ia pun menurut dengan menekuk lutut hingga menyentuh permukaan keras. 

“Menunduk! Ayo menunduk!” 

Kembali terdengar suara membentak. Christie merasa kepalanya didorong hingga ia terpaksa membungkuk, nyaris mencium lutut. Kemudian, ia seperti dibiarkan begitu saja. Kini, ia merasa seperti sendirian. Namun, tetap saja ia tidak bisa berbuat apa-apa. Kedua tangannya terikat di punggung dan matanya tertutup kain. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya pasrah menunggu nasib.

Beginikah perlakuan terhadap penjahat? Bagaimana nasib Fitra? Jika polisi menangkap orang yang tidak bersalah, layakkah orang itu diperlakukan seperti ini?

Namun … benarkah Christie tidak bersalah? Sama sekali tidak bersalah? Yakin? Yakin ia benar-benar bersih?

Saya capek disuruh bikin laporan palsu.

Tiba-tiba ia teringat kata-kata Fitra siang tadi.

Kamu pikir saya tidak?

Christie pun merasakan hening. Napasnya mulai teratur. Entah kenapa ia merasa begitu tenang. Dan … matanya terasa basah.

“Apa yang Anda pikirkan? Kami susah payah memperjuangkan Anda, tetapi Anda malah main membatalkan beasiswa yang sudah Anda dapatkan begitu saja!”

Christie ingat betul dengan kejadian itu. Jauh beberapa tahun ke belakang, sebelum angkatan Fitra bergabung menjadi CPNS. Pada suatu hari di pertengahan tahun 2000-an. Waktu itu usianya baru 29 tahun tetapi ia sudah menjadi salah satu pejabat eselon IV.

Christie memang bergabung di Kementerian Infrastruktur berbekal ijazah S-2. Dulu, ia memang tipikal mahasiswa rajin yang hanya fokus kuliah sehingga mampu menyelesaikan S-1 hanya dalam waktu empat tahun–sangat singkat untuk tahun 1990-an. Dan karena ia lulus di tahun yang “salah”, bertepatan dengan gejolak politik nasional saat itu yang meneriakkan reformasi, ia pun memilih untuk melanjutkan saja sekalian studinya ke jenjang S-2. Cukup satu hingga dua tahun, dan ketika lulus, situasi sudah mulai berubah. Setidaknya, negara yang tengah berbenah membuka rekrutmen terbatas untuk Pegawai Negeri Sipil. Salah satunya adalah Kementerian Infrastruktur. Dengan bekal ijazah S-2 yang saat itu masih sangat prestisius, ia pun masuk dengan mudah dan langsung melompat ke golongan III/b–sesuai peraturan kepegawaian yang berlaku.

Segera setelah statusnya beralih dari CPNS ke PNS, dan setelah masa PNS-nya lebih dari setahun,  Christie menjadi salah satu prioritas untuk diangkat ke dalam jabatan eselon IV untuk menggantikan pejabat-pejabat yang pensiun.  Ketika pergolakan di negeri tercinta masih belum usai, Christie sudah mendapatkan kemapanan yang diidam-idamkan banyak orang. Sempurna sekali, bukan? Sayangnya, tidak demikian dengan mentalnya.

Krisis usia 20 tahunan itu nyata. Begitu pun Christie yang kemudian gamang meski ia telah mendapatkan yang diimpikan anak-anak muda seusianya saat itu: karier cemerlang, juga keluarga kecil nan bahagia dengan suami perhatian dan seorang anak perempuan yang cantik. Namun, justru di situlah masalahnya.

Sebagai pasangan dengan usia pernikahan masih seumur jagung, membagi waktu antara rumah dan kantor adalah hal “klasik”. Memiliki pekerjaan, otomatis waktu pun banyak tersita di kantor. Apalagi, ternyata Christie adalah pejabat muda yang paling diandalkan. Rapat hingga larut dan konsinyasi sampai tidak pulang adalah makanan sehari-hari. Yos–suami Christie–lama-lama berang. Pertengkaran-pertengkaran kecil pun tak terhindarkan.

Christie sendiri sebenarnya bukanlah orang yang terlalu mendewa-dewakan pekerjaan di kantor. Hanya saja, ia tak kuasa menolak perintah atasan. Ia merasa masih sebagai bocah ingusan yang rasanya tidak sopan menolak permintaan orang tua (dan punya jabatan tinggi). Sementara–mungkin–citra PNS kebanyakan adalah hobi pulang cepat, bagi Christie bisa meninggalkan kantor sebelum waktu magrib adalah kemewahan.

Di sisi lain, birokrasi memang tidak sempurna. Belum sempurna, tepatnya. Karena, saat itu pun pemerintahan masih belum stabil pasca reformasi. Tahun 2004, ketika akhirnya Indonesia memiliki presiden yang dipilih langsung untuk pertama kalinya, banyak hal yang pelan-pelan mulai coba diperbaiki. Dan sebagai pejabat, meski baru eselon IV, Christie adalah termasuk orang-orang yang suaranya didengar–dan mulai didapuk juga sebagai pengambil keputusan.

Christie sudah bukan lagi staf polos yang hanya tahu disuruh. Sebaliknya, justru saat itu ia pelan-pelan mulai masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Dan meski dulu ia bukan aktivis semasa kuliah, matanya tidak bisa tertutup demi melihat banyak hal yang terjadi … sekali lagi: BANYAK HAL.

Budaya mental proyek hingga mindset serba penyerapan. 

Dan seperti yang Fitra katakan.

Christie pun mulai gelisah. Idealismenya tersentil. Nuraninya terkoyak. Hanya saja, apa yang bisa ia lakukan? Pemerintah baru mulai menata diri dengan sumber-sumber daya manusia yang telanjur melekat dengan “budaya” pada pemerintahan orde sebelumnya. Berapa banyak PNS-PNS muda seusia Christie saat itu? Tidak banyak. Itu pun belum tentu semua bertahan dengan integritasnya. Paling hanya Gya–yang paling dipercayainya.

Itulah sebabnya, Christie ingin … kabur! Ya! Kabur saja dulu! Sama seperti Fitra. Menghindar sejenak keluar kantor sambil menenangkan diri dan menyusun ulang tujuan menjadi PNS. Dan kunci untuk kabur adalah dengan melanjutkan sekolah.

Sayangnya, beasiswa yang tersedia hanya untuk jenjang S-2. Wajar, sebenarnya. Buat apa kementerian merekrut lulusan S-3? Kecuali jika ini adalah lembaga pendidikan atau penelitian. Namun, Kementerian Infrastruktur bukanlah lembaga pendidikan ataupun penelitian. Kementerian Infrastruktur adalah instansi teknis yang tidak membutuhkan lulusan S-3. Tentu saja tidak ada larangan bagi pegawai yang ingin melanjutkan S-3. Akan tetapi, silakan untuk diusahakan sendiri dan perkuliahan tidak boleh mengganggu pekerjaan kantor.

Suatu hari, sebuah lembaga donor dari Jepang yang sudah lama bekerja sama dengan instansi mengirimkan surat penawaran untuk seleksi beasiswa dengan jumlah peserta terbatas. Christie jelas tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Namun, tentu saja lamaran Christie berbuah masalah. Karena pendidikannya sudah S-2, ia pun dipertanyakan: buat apa mengambil S-2 lagi?

Toh, Christie tetap bersikeras dengan alasan masih harus memperdalam pengetahuan di bidang infrastruktur yang lebih teknis. Karena, latar belakang pendidikan Christie, baik S-1 maupun S-2, dirasa kurang teknis–jurusan geografi masih dirasa kurang teknis untuk ukuran Kementerian Infrastruktur. Lembaga donor Jepang itu sendiri memang kerap menjalin kerja sama untuk bidang teknis.

Singkatnya, setelah melalui lobi yang alot, permohonan pun diloloskan. Dan semakin meyakinkan ketika hasil nilai seleksi Christie ada di urutan teratas, jauh melampaui pesaing-pesaingnya. Beasiswa pun di tangan, kabur dari Indonesia hanya tinggal tunggu waktu.

Sayangnya, justru di sinilah masalah mulai muncul. Yos, yang sejak lama sering tidak setuju dengan kesibukan Christie, merasa keberatan ditinggal dalam waktu lama–sekitar dua tahun. Terutama karena anak semata wayang mereka waktu itu masih balita dan membutuhkan banyak perhatian. Puncaknya adalah ketika Angela, sang anak, malah jatuh sakit. Sakitnya tidak tanggung-tanggung: demam berdarah. 

Akhirnya, Christie dipaksa memilih. Dan dengan berat hati, ia terpaksa merelakan beasiswa Jepang-nya. Padahal, saat itu segala akomodasi telah dipersiapkan. Termasuk uang SPPD. Dan termasuk juga tiket pesawat kelas bisnis yang menjadi standar layanan lembaga beasiswa Jepang tersebut. 

Pikirnya, tidak ada masalah. Toh, ia juga sudah punya ijazah S-2 yang diakui. Pakai saja itu. Lagipula, bukankah pencalonannya juga banyak ditentang karena ijazah S-2 itu? Maka, pada hari yang seharusnya Christie berangkat, alih-alih ia malah muncul di kantor. Seisi kantor pun gempar.

Masalah kian runyam ketika lembaga donor melayangkan protes. Kementerian pun geger. Bahkan, kerja sama antara Kementerian Infrastruktur dan lembaga donor Jepang tersebut nyaris bubar. Walau akhirnya dapat diselesaikan, kementerian tidak membiarkan Christie melenggang begitu saja. Ia pun disidang. Dan karena tidak ada pasal disiplin yang dilanggarnya, ia akhirnya dikenakan “hukuman kebijakan”. Orang yang nyaris membuat kerja sama antar negara berantakan, masa dibiarkan lepas begitu saja?

Sebuah tangan tiba-tiba mencengkeram belakang kerah baju Christie. Ia pun tersentak dan langsung berdiri.  Kakinya kembali melangkah entah ke mana. Hingga kemudian berhenti. Lalu terdengar suara grendel seperti ada sesuatu yang dibuka, diikuti suara seperti derit pintu. 

Lihat selengkapnya