13 Maret 2015
“Bangun!”
Suara berat diiringi benturan benda pada besi membuat mata Christie dan Fitra terjaga seketika. Keduanya langsung menegakkan punggung ketika melihat beberapa polisi di luar sel. Dan langsung berdiri ketika salah seorang polisi itu membuka kunci.
“Ayo, Fit.” Christie menunduk dan menarik tangan Fitra.
“Baik, Bu,” bisik Fitra.
Keduanya berjalan perlahan. Begitu keluar, masing-masing langsung ditarik oleh para polisi yang menjemput.
Salah satu polisi mendorong tubuh Fitra hingga menghadap tembok dan menelikung kedua tangannya di punggung. Polisi yang lain mengeluarkan borgol dan mengikat tangan Fitra. Fitra tidak melawan dan tampak pasrah. Kepalanya menunduk begitu dalam.
Christie sempat melihat Fitra sebelum ia diperlakukan sama: dihadapkan ke tembok dan diborgol. Christie juga tidak melawan. Ia sama pasrahnya dengan Fitra. Mereka kemudian digiring ke suatu tempat.
…
Ruangan yang tidak terlalu luas itu sekilas mirip ruang rapat. Terdapat meja dengan bentuk “U” di tengahnya. Seorang polisi yang terlihat seperti memiliki pangkat dan jabatan tertinggi tampak duduk di pangkal susunan meja berbentuk ”U” itu.
Sementara itu, di sudut yang lain, Gya tampak tegang. Wajahnya begitu gelisah. Memang, sih, semalam ia sudah berhasil bertemu “seseorang”. Tepatnya, membuat orang itu mau datang ke kantor polisi di Kutoarjo ini. Orang itu pun semalam juga sudah memberikan jaminan untuk untuk kebebasan kedua temannya itu. Hanya saja … benarkah ini akan berhasil? Gya malah pesimis sendiri.
Sebuah pintu yang berada di seberang tempat duduk Gya tiba-tiba terbuka. Seorang polisi masuk, disusul dua orang polisi lain yang masing-masing menggiring Christie dan Fitra. Ekspresi ketakutan masih menghiasi wajah keduanya. Tentu saja mereka tidak tahu apa-apa tentang semalam–Gya juga belum berani memastikannya.
Kedua polisi itu lalu mendudukkan Christie dan Fitra, berseberangan dengan Gya. Tangan mereka masih diborgol. Kepala mereka tampak menunduk. Dan Gya lagi-lagi trenyuh. Seberapa berbahaya mereka sampai harus dibelenggu seperti itu?
Beberapa polisi tampak seperti berdiskusi dengan polisi berpangkat tinggi yang duduk di pangkal meja “U”. Tak lama, mereka berpencar. Ada yang mengambil tempat duduk, dan ada juga yang keluar.
“Siapa yang bernama Adhya Fitra?” Polisi berpangkat tinggi itu bertanya.
“Saya, Pak.” Fitra menengadah dengan sorot mata penuh ketakutan.
Polisi itu menatap Fitra yang benar-benar tampak tak berdaya. Ada setitik rasa iba dalam hatinya itu sebenarnya. Namun, hukum tetap harus ditegakkan.
“Jadi, Saudari adalah pemilik mobil Peugeot 405 berwarna putih dengan nomor polisi D 405 DS, betul?”
“Betul, Pak,” jawab Fitra singkat.
“Kenapa nama pemiliknya berbeda dengan yang tertera di STNK?” Polisi itu kembali bertanya.
“Mobil itu baru saya beli dari orang lain, Pak. Belum sempat balik nama,” jawab Fitra lagi.
Polisi berpangkat itu mengangguk-angguk.
“Saya akan langsung saja. Dan tolong jawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan jujur.” Polisi itu mulai melakukan interogasi.
“Baik, Pak.” Fitra mengangguk patuh.
Beberapa polisi yang tadi keluar kembali masuk sambil membawa sebuah bungkusan plastik berwarna hitam.