Jalanan tampak lebih ramai karena kendaraan-kendaraan dari ringroad kembali bergabung. Para penglaju antar kota dan provinsi umumnya memang berbelok di ringroad dan tidak masuk tengah kota Purworejo. Terutama sekali kendaraan-kendaraan besar yang memang dibatasi agar jalan kota tidak cepat rusak.
Gya tampak berkonsentrasi ketika di jalan di depan terhalang truk. Untuk menyusulnya, ia harus memastikan dulu tidak ada kendaraan lain yang berasal dari arah sebaliknya. Meski ini adalah jalur antar kota, bahkan antar provinsi, lebarnya hanya dua lajur.
“Pak Menteri datang ke Kutoarjo, Gy? Malam-malam kemarin?” Christie masih tidak percaya.
Gya tidak menjawab. Matanya masih mengawasi arah depan. Dan ketika yakin tidak ada kendaraan, ia pun menyalakan lampu sein kanan dan menyusul truk di depannya.
“Iya.” Gya menjawab ketika mobil sudah kembali ke lajur semula. “Tuduhan ke Fitra itu gawat. Aku harus putar otak mencari orang yang benar-benar kuat. Ya … opsi pertamaku, sih, Ferdi.” Gya kembali menyusul sebuah bus di depannya. “Tapi ternyata dia nggak respons. Heran aku, tuh. Orang yang kekuatannya nggak seberapa malah songongnya minta ampun. Yang jabatannya jauh lebih tinggi malah mau turun tangan.”
Fitra diam saja. Ia tampak menatap ke luar.
“Aku salut sama Pak Menteri kita itu,” puji Gya. “Benar yang dibilang orang-orang. Pak Menteri itu membumi, merakyat, rendah hati, dan peduli sama bawahan-bawahannya.” Gya melirik Fitra. “Buktinya, dia mau bela-belain datang malam-malam demi membebaskan staf kroconya yang satu ini, nih.” Gya menoleh dan terkikik.
“Mantan staf,” ralat Fitra. Nada suaranya terdengar dingin.
Gya pun terdiam. Apakah Fitra akan kembali ngambek?
“Itu artinya dia perhatian, Fit,” timpal Christie.
“Kalau dia perhatian, kenapa dia tidak menahan kita?” Fitra kembali membahas masalah yang membuatnya marah itu.
Ganti Christie yang terdiam.
TIN!
Sebuah mobil membunyikan klakson dan menyusul. Tampak mobil itu mengebut dengan ugal-ugalan. Gya hanya bisa menggeleng-geleng melihatnya. Ada orang-orang yang memang sepertinya menganggap murah nyawa, termasuk nyawa mereka sendiri.
“Fit, Ada banyak hal yang berada di luar kekuasaan kita. Hal paling absurd sekalipun,” ujar Christie.
Kali ini Fitra yang terdiam.
“Kamu pikir Pak Menteri menginginkan ini? Kamu pikir dia nggak sedih berpisah dengan kita, anak-anak buahnya?” Christie bertanya retoris. “Kalau pakai perasaan, semua sakit, Fit.”
“Kecuali orang-orang yang punya kepentingan.” Fitra memotong.
“Iya. Perkecualikan mereka.” Christie mengalah. “Tapi, orang dengan jabatan setinggi Pak Menteri pun tetap manusia biasa. Dia punya kelemahan. Dia bukan penguasa segalanya. Dan adakalanya dia juga tidak berdaya dengan keadaan.” Christie berkata panjang lebar.
“Tapi, Chris.” Gya menimpali. “Aku pun dari kemarin-kemarin juga heran. Ada yang nggak masuk di kepalaku.” Ia menoleh sekilas. “Sebenarnya, kamu dan tim kamu itu bergerak atas perintah siapa?”
Christie kembali menyandarkan punggungnya. “Aku mengerjakan draf organisasi dengan empat direktorat jenderal … atas suruhan Ferdi.”
“Empat direktorat jenderal?” Fitra terbelalak, lalu menoleh ke belakang. “Untuk apa menggemukkan organisasi sampai sebanyak itu?” Sorot matanya seakan meminta penjelasan.