Perjalanan Dinas

Nadya Wijanarko
Chapter #52

51 - YOGYAKARTA: Jalan Pulang

Sore itu, Fitra mengemudikan Peugeot 405-nya untuk mengantarkan Christie dan Gya menuju bandara Adi Sucipto. Christie akhirnya mendapatkan tiket pesawat juga untuk pulang ke Jakarta. Sedangkan, Gya akan terbang ke Bali—ia juga sudah mendapatkan tiket.

Wajah Fitra kini sudah lebih cerah. Setidaknya, ia telah merasa mendapatkan titik terang. Lebih jauh, ia telah mengambil sebuah keputusan. Sebuah keputusan yang cukup drastis untuk pilihan hidupnya.

Sedan putih itu terus melaju ke arah timur. Menyusuri jalan demi jalan di antara kendaraan lainnya. Menyelusup lincah di antara keramaian sore hari. Arus lalu lintas tetap mengalir meski barisan kendaraan terasa padat. Para pengendara cukup tertib dan hampir tidak ada suara klakson.

Mobil berhenti di pertigaan ketika lampu lalu lintas menyala merah. Sebuah jembatan layang membentang dari sisi selatan jalan, lalu menikung hingga lurus searah jalan menuju timur. Tembok-temboknya penuh dengan poster. Beberapa poster tampak bertuliskan kata-kata protes: “JOGJA ORA DIDOL!”. Mungkin si pembuat poster itu memang benar-benar prihatin dengan begitu maraknya pembangunan. Setidaknya, di sepanjang jalan ini, beberapa lahan terlihat tengah dibangun dengan bentuk arsitektur yang mirip hotel. Yogyakarta masih kekurangan hotel rupanya. Setidaknya menurut pemodal–mungkin.

Christie, yang duduk di depan, melirik Fitra.

“Fit?” panggil Christie.

“Ya?” Fitra memajukan mobilnya dengan penuh konsentrasi.

“Kamu yakin dengan keputusanmu tadi?” tanya Christie memastikan.

Fitra tampak terdiam. Matanya masih tidak mau lepas dari jalan. Mobil melaju di antara bangunan, pasar swalayan besar yang sepertinya tengah dipugar, beberapa hotel yang sebagian masih dibangun, hingga berhenti di pertigaan seiring dengan lampu lalu lintas yang menyala merah. Sebagian kendaraan tetap melaju di sisi kiri untuk berbelok memasuki ringroad.

Beberapa pengamen waria lalu tampak menghampiri kendaraan demi kendaraan  untuk mempertunjukkan kebolehannya: menyanyi sambil mengecrek beberapa tutup botol yang dikaitkan pada tongkat. Fitra mengangkat tangannya sebagai kode bahwa ia tidak berminat memberi ketika salah satu pengamen itu menghampiri mobilnya. Tak lama, mobil kembali melaju ketika lampu lalu lintas menyala hijau.

“Bu, saya itu bukan PNS baik-baik.” Fitra kembali berkata ketika mobil menyeberangi persimpangan. “Semua yang Ibu pernah bilang itu benar. Saya sering terlambat. Saya tidak pernah mengikuti upacara. Saya kabur cuti. Saya sengaja mengulur waktu kuliah.” Fitra menarik napas panjang. “Maafkan saya, Bu,” ujarnya lirih.

Christie terdiam. Pandangannya kembali fokus ke depan. Beberapa toko oleh-oleh berdiri di pinggir jalan. Namun, dalam perjalanan dinas kali ini, ia tidak berminat membeli oleh-oleh.

“Tapi, saya tidak ingin terus-terusan menjadi PNS ‘bandel’. Saya dibayar negara bukan untuk itu. Saya ingin memberikan makna … saya tidak ingin PNS hanya sekadar menjadi status.” Fitra kembali berhenti.

Lampu lalu lintas kembali menghadang. Kali ini karena pertigaan dengan belokan ke kanan menuju bandara Adi Sucipto.

“Saya berasal dari keluarga pendidik.” Fitra kembali berkata. “Jadi, tidak salah, kan, kalau saya ingin mengikuti jejak kedua orang tua saya?” Fitra menoleh menatap Christie. “Saya ingin menjadi dosen. Saya ingin mengabdi dengan cara seperti itu.”

Christie menoleh. Ia menatap lekat orang yang—pernah—menjadi bawahannya itu. Kesedihan kembali menyergap ketika ia sadar bahwa setelah ini ia tidak akan bekerja dengannya lagi. Walau ia juga merasa senang karena Fitra telah menentukan pilihannya. 

Mobil kembali melaju dan berbelok ketika lampu lalu lintas berganti hijau. Kemudian memasuki pelataran parkir yang luas. Fitra dengan lincah memarkir mobil di tempat yang kosong.

Ketiganya kemudian keluar dan berjalan melalui terowongan yang menghubungkan tempat parkir dengan bandara. Fitra mengantarkan Christie dan Gya hingga di depan pintu masuk. Pintu masuk itu sendiri tampak begitu padat dengan banyaknya orang sehingga tak ubahnya terminal bus. Beberapa tampak mengambil antrean yang sudah mengular. Sudah tidak layak untuk menjadi bandara umum tampaknya. Apalagi untuk menyambut tamu internasional. Perlu dibangun bandara baru yang lebih layak dan lebih banyak daya tampungnya.

“Fit?” Christie berdiri berhadapan dengan Fitra. “Kita … pasti akan ketemu lagi, kan?”

Fitra tidak menjawab dan malah menunduk.

“Saya kayaknya bakal kangen sama kamu.” Christie menatap Fitra.

Lihat selengkapnya