Lorong sekolah pagi itu masih lengang, tapi denting sepatu-sepatu siswi yang baru datang sudah mulai terdengar memantul dari dinding ke dinding. Althea melangkah dengan kepala tertunduk, kedua tangannya memegang erat tali ransel, mencoba menyatu dengan bayangannya sendiri. Hari ini adalah hari pertama ia tampil beda, mengenakan seragam yang lebih longgar dari biasanya, dan hijab syar'i yang menutupi bagian dadanya. Sesuatu yang belum pernah ia lakukan selama ini.
Namun, suasana hening itu segera pecah oleh suara yang sengaja dikeraskan dari arah belakang.
"Semuanya minggir! Ada ustazah mau lewat," ujar Nadya, penuh sindiran dan tidak berusaha menyembunyikan tawa dalam nada suaranya.
Dilla langsung menyambung, menutup mulutnya seolah menahan tawa. "Haha, awas minggir! Nanti kalian dimarahi sama Ustazah Althea!"
Telinga Althea jelas menangkapnya, setiap kata menancap dalam seperti pisau kecil yang tak terlihat. Tapi ia tidak menoleh, tidak juga membalas. Ia hanya mempercepat langkah, seolah lorong itu bisa segera membawanya pergi dari dunia ini. Tapi hatinya bergetar, bukan karena takut atau marah, melainkan karena luka. Ia tahu, jalan ini tak akan mudah. Jalan hijrah yang ia pilih, adalah jalan sunyi yang seringnya penuh cemoohan.
"Sombong banget lo, The! Mentang-mentang sekarang ke sekolah pakai baju longgar!" sindir Nadya lagi, kali ini dengan tawa yang lebih keras dan langkah yang semakin cepat mendekati Althea.
Althea menghentikan langkahnya. Ia menarik napas panjang dan dalam, seakan menahan air mata yang nyaris tumpah. Matanya tetap tertuju lurus ke depan, tapi tubuhnya bergetar halus. Dalam hati ia bertanya, Apakah setiap niat baik akan selalu diuji seperti ini?
Nadya dan Dilla menghampirinya, kini berdiri tepat di sampingnya.
"Lo kenapa tiba-tiba pakai ginian ke sekolah, The?" tanya Dilla, ekspresinya campuran antara heran dan geli. Ia menatap Althea dari atas sampai bawah, menilai penampilan yang sangat jauh berbeda dari biasanya. Dulu Althea identik dengan rok span ketat, lengan seragam yang digulung sampai siku, dan hijab yang lebih mirip selendang. Tapi kini, dia berdiri di hadapan mereka dengan pakaian longgar yang sederhana, dan hijab syar'i yang membuat sosoknya tampak jauh lebih dewasa.
Althea menoleh pelan, suaranya lirih namun mantap. "Aku pengin berubah. Aku sadar, selama ini yang aku lakuin banyak banget yang nggak pantas."
Nadya mencibir sambil mendecak pelan. "Lo nggak pantas pakai ginian! Nggak cocok banget sama lo!" katanya tajam. Tangan Nadya bergerak cepat, mencoba menarik ujung hijab Althea. Gerakannya spontan, tanpa pikir panjang, seperti hendak mengungkapkan bahwa perubahan Althea cuma topeng semata.
Namun Althea segera menepis dan memegang hijabnya erat. "Jangan gitu, Nad! Tolong... jangan kayak gini..." ucapnya dengan suara tercekat. Matanya memohon pengertian, tapi Nadya seperti tak peduli.
Tegang, udara di lorong sekolah seakan berhenti bergerak. Dilla sendiri tampak ragu, menatap sekeliling, mulai merasa kalau perbuatan Nadya sudah kelewat batas.
Tiba-tiba, suara berat dan tegas menggema memecah ketegangan.
"BERHENTI!"
Langkah Nadya terhenti. Semua mata langsung menoleh ke arah suara tersebut.
*****