Perjalanan Hijrah Althea

Author Zahra
Chapter #3

03. Kulkas Berjalan

"Gara-gara kalian, kita jadi dihukum, kan!" suara Althea melengking, menggema di sepanjang lorong kosong yang sunyi. Nada cemprengnya tajam, menusuk udara seperti peluit yang dibunyikan terlalu dekat dengan telinga. Dinding-dinding sekolah yang dingin dan sepi seolah memantulkan kemarahannya, membuat ruangan itu mendadak terasa sempit dan panas.

Dilla, yang tengah berjalan di sebelah Nadya, sontak berhenti. Kepalanya langsung menoleh cepat ke arah Althea, alisnya bertaut rapat penuh kebingungan dan ketidakpercayaan. Ia berbalik, menatap gadis itu dengan mata melebar, seolah tak percaya apa yang baru saja didengarnya.

"Lah, kok lo nyalahin kita sih?!" balasnya cepat, suaranya naik satu oktaf. Nada bicaranya tak kalah tajam, mencerminkan rasa tersinggung yang tak bisa ia tahan. "Jangan seenaknya nuduh dong, Thea. Kita kan bareng-bareng semua tadi. Lo juga ketawa, malah lo yang jawab 'Lucu, Bu'!"

Namun Althea tak menggubris. Ia berdiri dengan dagu terangkat sedikit, rahangnya mengeras, mata yang biasanya hangat kini tampak memerah entah karena marah, kecewa, atau frustasi yang terlalu lama dipendam. Rambut hitam panjangnya berayun liar saat ia menggeleng keras, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik hingga nyaris putus.

"Pokoknya ini semua salah kalian!" serunya lagi, lebih keras dari sebelumnya, suaranya seperti kaca yang mulai retak. "Kalau kalian nggak bisik-bisik cekikikan, Bu Dara nggak bakal makin marah!"

Ia menatap Dilla dan Nadya hanya sekilas, tatapan singkat namun penuh emosi, lalu membalikkan badan dengan gerakan kasar. Langkah kakinya cepat dan menghentak, membuat suara sepatu hitamnya terdengar keras menghantam lantai keramik sekolah yang licin. Setiap hentakan seolah mempertegas kemarahannya yang belum sempat ia uraikan dalam kata.

Dilla dan Nadya hanya bisa terpaku di tempat, berdiri membeku di ujung lorong yang perlahan menjadi lebih sepi. Mereka menatap punggung Althea yang menjauh, semakin mengecil hingga akhirnya menghilang di tikungan koridor, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

Nadya, masih tercengang, mengalihkan pandangannya ke Dilla. Ekspresinya campur aduk: bingung, sedih, dan tidak tahu harus bagaimana.

"Kenapa sih dia kayak gitu?" tanyanya lirih, suara Nadya seperti sisa napas yang nyaris tak terdengar. "Tadi masih ketawa-ketawa bareng, sekarang tiba-tiba marah-marah nggak jelas."

Dilla tak langsung menjawab. Ia mengembuskan napas panjang, matanya tetap mengarah ke tempat terakhir Althea menghilang. Bahunya terangkat sedikit, lalu jatuh perlahan saat ia akhirnya membuka suara.

"Gue juga nggak ngerti, Nad. Mungkin lagi sensi PMS kali ya," ujarnya dengan nada setengah malas, mencoba terdengar santai. Tapi jelas dari sorot matanya bahwa ia terganggu, tercampur antara kesal dan khawatir. "Tapi tetep aja nyalahin kita gitu aja tuh nggak enak, ngerti nggak sih?"

Nadya mengangguk kecil, wajahnya masih murung. Di antara udara pagi yang mulai hangat dan lorong sekolah yang kembali tenang, keduanya berdiri dalam diam. Ada sesuatu yang menggantung di antara mereka, sebuah keretakan kecil dalam persahabatan yang selama ini mereka anggap tak akan pernah goyah.

Dan hari itu, tanpa mereka sadari, bukan hanya dimulai dengan hukuman puisi, tapi juga dengan jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka bertiga.

*****

Lihat selengkapnya