Bu Renata menyilangkan tangan di dada. Suaranya tegas dan terdengar seperti pukulan palu di ruang sidang.
"Kemana saja kamu? Kenapa baru masuk jam segini? Ibu sudah catat kamu alfa."
Althea mengedarkan pandang sejenak ke seluruh kelas, semua mata tertuju padanya, beberapa dengan ekspresi menahan tawa, yang lain menunggu drama berikutnya. Ia melangkah ke depan, mendekati meja guru, dan memasang wajah memelas seperti anak kecil yang tertangkap mencuri kue.
"Yahhh... kok di-alfa sih, Bu? Saya cuma telat satu jam. Cuma satu jam doang..." katanya, menekankan kata cuma seolah berharap kata itu cukup ajaib untuk melembutkan hati siapa pun yang mendengarnya.
Namun, Bu Renata sama sekali tidak tersentuh. Alisnya terangkat, matanya menyipit sedikit.
"Cuma satu jam?" ulangnya, suaranya naik satu oktaf. "Kamu bilang cuma? Satu jam itu bukan 'cuma', Althea. Ini sekolah, bukan tempat singgah sesuka hati!"
Suasana kelas mendadak sunyi senyap. Bahkan suara kipas angin plafon yang biasanya berderit pun terasa menghilang dalam ketegangan udara. Siswa-siswa yang semula tertawa, kini hanya bisa menunduk atau menahan napas, tak ingin ikut terseret omelan.
Althea menunduk sedikit, menggigit bibir bawahnya. Ia tahu dalam keadaan seperti ini, argumen apapun hanya akan memperburuk keadaan. Tapi, seperti biasa, ia tak ingin terlihat lemah.
"Keluar!" suara Bu Renata terdengar dingin, tegas, dan mengakhiri segalanya. "Kamu sudah mengganggu pelajaran. Silakan keluar, dan jangan masuk ke pelajaran saya lagi hari ini!"
Althea terdiam sejenak. Wajahnya sulit ditebak, antara jengkel, malu, dan berusaha tetap tenang. Lalu, dengan gerakan yang terlalu santai untuk ukuran seseorang yang baru saja diusir, ia mengangkat bahu dan mendesah.
"Ya udah. Bentar lagi juga istirahat, kok," gumamnya pelan, namun cukup jelas terdengar oleh sebagian besar siswa.
Tanpa menoleh lagi, Althea melangkah keluar. Suara sepatunya menggema di lantai ubin koridor yang sepi, seolah menjadi irama ironi yang menyertai keluarnya dia dari kelas. Pintu tertutup perlahan di belakangnya.
Bu Renata menarik napas panjang. Matanya menatap ke arah pintu yang baru saja ditutup. Ia memijit pelipisnya, lalu berbalik menghadap kelas.
"Baik. Anak-anak, sekarang kita lanjutkan pelajarannya," katanya akhirnya, berusaha menetralkan suasana yang sempat membeku. Suaranya sedikit lebih lembut, tapi masih mengandung sisa kejengkelan.
*****
Koridor sekolah yang lengang seolah menjadi saksi bisu ledakan emosi seorang gadis bernama Althea. Tak ada suara lain selain hentakan sepatu kets putihnya yang membentur lantai berubin dengan keras. Lorong itu kosong, hanya dihuni oleh denting langkah dan gumaman kesal yang tak henti-henti meluncur dari bibirnya.