Lintang naik secara perlahan. Kemudian ia duduk di hadapan perempuan itu. Rumah pohon ini muat untuk empat orang. Tidak terlalu bisa tapi cukup nyaman. "Kamu enggak dimarahin bikin ginian di belakang bangunan serba guna?"
Mayra menyalakan lampu Tumblr. "Enggak. Aku udah izin ke Pak RT. bangunan serba guna ada dua. Yang ini udah nggak kepakai. Terus yang satu lagi masih digunakan." Mayra memainkan jari-jari tangannya sambil duduk di bangku kayu. Dengan satu napas panjang, Perempuan itu menyiapkan keberanian untuk memulai menceritakan semua kenangan menjelma menjadi monster menakutkan hingga tidak bisa dilawan. Semua selalu menjadi seperti itu, tidak bisa dihilangkan.
Lintang diam. ia menyadari kekasihnya masih belum siap memberitahu masa lalunya. ''Nggak pa-pa, May kalau enggak mau cerita.''
"kamu ingat ngak?? yang waktu itu aku pernah certa ke kamu?’’ Mayra tidak melihat mata Lintang. Melainkan melihat ke arah jendela. sedangkan lawan bicara membalas dengan pelan, ''Iya, May.''
‘’Saat itu, Aku umur tujuh tahun. Mamah aku menikah. Kamu, tahu? bagaimana perasaanku waktu itu??'' jari tangannya mengepal erat berpangku di atas bawah. kepalanya menunduk. ''Aku senang banget. Akhirnya Aku punya papah. Bukan itu aja. Aku juga punya kakak, namanya Velika. Aku sama dia hanya beda bulan. Dia januari sedangkan Aku April." Ia takut bila melihat Lintang. Air matanya tidak dapat ditahan.
Lintang mendengarkan secara serius. Tidak memotong maupun memberikan balasan lainnya. Yang Mayra ceritakan waktu itu ia kira sudah secara menyeluruh. Namun ternyata masih ada kelanjutannya. Lintang ingat sekali Mayra pernah bilang bahwa Mamahnya pergi karena memilih menikah lagi kemudian pindah ke Bandung tanpa mengajak Mayra. ia tidak berani bertanya lebih lanjut, takut melukai perasaan Mayra bila ia bertanya.
"Setelah acara selesai. Ternyata rasa bahagia itu tidak bertahan lama. Mamah pergi, ninggalin Aku. Kalimat terakhir Aku dengar—" Lintang tidak menepuk pundak Mayra atau memeluk tubuh itu disaat kekasihnya menangis. Tugasnya kali ini cukup menjadi pendengar Mayra.
"Mamah menyuruh Tante Olivia jagain aku. Mamah sempat bilang, Aku harus jadi anak yang kuat." Tangisan Mayra semakin kencang, air mata bertambah deras. "Itu alasan kenapa setiap aku merasa sakit. Seberusaha mungkin, Aku nggak boleh nangis," Suara Mayra bergetar.
"Menangis sepuas kamu, Mayra. Tidak semua orang harus terlihat kuat. Nangis bukan berarti kamu lemah."