Mereka tiba di jam sebelas malam. Harusnya bisa lebih awal. Namun karena waktu pemberhentian di rest area lebih lama membuat mereka sampai di Solo terlambat. Saat ini mereka ber empat menginap di rumah nenek Rengli. Rumah ciri khas jawa, bangunan terbuat dari kayu jati yang membuat suasana dingin. Mereka di sambut hangat oleh Eyang Rengli bernama Eyang Mulyati.
‘’Iki Rengli? Putuku?’’ (ini Rengli? Cucuku?) tanyanya bahagia.
‘’Iya, Uti. Aku Rengli. Cucu terkeren Eyang,’’ balas Rengli tak kalah senang. Caca memutar kedua bola mata malas ketika cowok itu mengaku dirinya keren. Selesai melihat Rengli dan Eyang melepas rindu. Mayra ikut mencium punggung tangan perempuan terlihat kulitnya sudah keriput serta rambut memutih. Meskipun begitu, namun Mayra bisa menebak bahwa Eyang Mulyati wanita yang cantik. Sebab aura kecantikannya masih terlihat sangat jelas. Hidung yang mancung, alis tebal meskipun tak lagi hitam dan bibir tipisnya. ‘’Saya Mayra, Eyang. Temannya Rengli,’’ Mayra memperkenalkan diri secara sopan. Ia tersenyum hangat. Kemudian diikuti Caca dan Lintang secara bergantian.
Malam ini. Mereka tidak langsung istirahat. Karena ternyata Eyang Mulyati telah menyediakan berbagai menu makanan ciri khas makanan Jawa Tengah. Salah satunya sate buntel. Sate yang terbuat dari daging dan dibuntel menggunakan lembaran dari lemak kambing. Meskipun mereka ber empat sangat ngantuk dan sudah kenyang. Namun untuk menghormati tuan rumah. Ketika melewati pintu utama terbuat dari kayu jati, terlihat ukiran bunga. Lintang memperhatikan dekorasi rumah Eyang nya Rengli serba kayu. Bahkan, atap rumahnya terbuat alami. Beda seperti rumah-rumah yang biasanya berada di kota. Di dinding terdapat foto-foto tanpa warna, alias hitam putih. Tertempel rapih. Walaupun ukuran ruangan tidak terlalu besar. Ruangan ini sangat nyaman. Lintang menyukai rumah Eyang Mulyati.