Semenjak kepergian seseorang yang sangat ia cinta, waktu seperti tak berjalan ke depan dan selalu berhenti di tempat yang sama. Dunianya hancur. Tidak ada hal yang bisa membuat ia tersenyum. Bahkan, setiap sudut di rumah sama sekali enggan ia sentuh, berdiam diri di dalam rumah hanyalah tempat ternyaman untuk saat ini. Iya, untuk sekarang dan entah sampai kapan ingin keluar hanya untuk sebatas merasakan hembusan angin, teriknya sinar matahari, dan tempat-tempat yang pria itu lewati setiap kali menuju ke SMA Delima. Karena terlalu nyaman dengan pikirannya sendiri. Suara pintu terbuka pun ia hirukan. Hingga terdengar suara obrolan dari dua manusia yang tak perlu ia lihat siapa mereka, Lintang sudah mengerti bahwa Rengli dan Caca pemilik suara tersebut. Pandangannya lurus ke jendela, laptop pun yang biasanya benda tak pernah absen ia sentuh. Kini telah berubah. Sudah dua bulan semenjak kejadian itu kelima jarinya enggan untuk menari-nari di atas ketikan kemudian menimbulkan suara ciri khas ataupun membuka sosial media yang bisa ia buka dalam sehari, berkali-kali.
‘’Gue beliin bakso terenak di Delima, nih! Lo udah makan?!’’ Caca meletakan mangkuk di atas meja kecil, ia taruh mangkuk itu di dekat laptop. Caca mendesah pelan. ‘’Ini laptop lo sampai kotor gini.’’ Benda itu terlihat ada noda merah yang Caca yakin itu adalah saos yang telah mengering.
Tanpa memindahkan tatapan ke arah lain. Lintang membalas dengan nada dingin, ‘’Ngapain dia ke sini?’’
Rengli sejak dari tadi tidak berani masuk ke kamar. Ia memilih berdiri di depan pintu yang dibiarkan terbuka. ‘’Lin,’’ dengan suara pelan ia memanggil temannya tersebut.
Lintang menghiraukan panggilan Rengli. ‘’Udah berapa kali gue bilang ke lo, Ca? kalau ke rumah gue—‘’ Lintang mencengkran pinggiran kursi hingga kuku memutih. ‘’Jangan ajak si bangsat satu itu!’’
Caca sama sekali tidak kaget dengan perkataan Lintang. Sebab, semenjak kejadian itu cara bicara Lintang berubah menjadi kasar. ‘’Lin. Mau sampai kapan lo kaya gini?! Mayra enggak akan kembali! Dengan cara lo berdiam diri di kamar yang ada bikin Mayra sedih!’’
Lintang menatap tajam Caca. ‘’Itu semua karena Ren—‘’
‘’Karena Rengli? Itu kan yang mau lo bilang?!’’ perempuan itu membalas kedua bola mata Lintang dengan tatapan tajam. Ia mehembuskan napas kasar. ‘’Rengli enggak salah, Lin. Itu semua kecelakaan.’’ Ia menghentikan sejenak. ‘’Dan lo juga udah tahu tabrakan itu karena murni kecelakaan,’’ tambahnya dengan napa rendah.
‘’Bukan lo aja yang sedih. Gue dan Rengli juga merasakan apa yang lo rasakan, Lin. Bahkan hingga terhitung dua bulan dari kejadian kecelakan. Gue selalu merasakan kehadiran Mayra duduk di sebelah gue. Dia teman sebangku gue, Lin. Teman pertama gue di SMA Delima,’’ suara Caca bergetar. Dirinya telah berusaha menahan tangisan namun tidak bisa. Setiap kali mengingat sahabatnya, air mata selalu membasahi wajahnya. ‘’Jadi gue mohon sama lo. Jangan kaya gini.’’