Hari itu, Jum’at tepat pukul enam sore, Ryu dinyatakan meninggal dunia. Suasana ruang Instalasi Gawat Darurat mendadak sendu kacau dengan tangisan, kesibukan perawat dan dokter yang lalu lalang. Tidak ada yang menyangka nyawa Ryu tidak dapat diselamatkan. Satu jam yang lalu, Ryu masih duduk menatap laptopnya. Dengan segala harap, ia berultimatum. Naskahnya kali ini harus diterima penerbit. Tertulis "First Rabbit" di judulnya. Ryu menggulirkan pointer ke bawah. Melihat detail keputusan dari penerbit yang menjadi harapannya.
"Maaf naskah anda ditolak editor." Ryu tersenyum miris membacanya.
"Gagal lagi." Ucapnya pelan.
Ini adalah judul kesepuluh dari naskah yang selalu ditolak dan ini adalah penerbit ketujuh dalam kurun waktu dua tahun ia mencoba mengirim semua naskahnya.
"Aku sudah berjanji, kalau aku gagal lebih baik aku mati saja," ucap Ryu lirih.
"Tuhan, aku mau mati. Aku tidak berguna hidup. Bertahun-tahun aku optimis menghidupkan mimpiku sebagai seorang penulis namun tetap saja aku gagal. Kau ingin aku jadi apa Tuhan?" air matanya mulai menetes.
Ryu teringat betapa selama ini Ayah dan Ibunya menyerah untuk selalu menyuruhnya mencari pekerjaan daripada berkutat dengan tulisan tanpa hasil. Ryu selalu keras kepala dan yakin dirinya bisa menjadi seorang penulis berhasil. Adiknya yang bernama Erica juga tidak kalah pesimis berpikir bahwa kakaknya hanya membuang-buang waktu. Belum lagi teman-temannya yang mulai menjauhi Ryu karena menganggapnya tidak lebih dari seorang pengangguran dengan modal mimpi. Entah kenapa Ryu ingin sekali hari ini hidupnya berakhir.
"Tuhan jika doaku tak satupun kau kabulkan, kumohon kabulkan keinginan terakhirku. Aku ingin mati." Ryu menunduk menutup wajahnya yang sudah dibasahi air mata dengan kedua tangannya.
Tidak perlu waktu lama untuk Tuhan mengabulkan doa. Air mata Ryu jatuh tepat di lubang terminal listrik di bawah kakinya. Sambungan arus pendek terjadi. Ryu terisak. Ia mulai menutup laptopnya dengan paksa yang masih tersambung dengan soket charger. Tubuhnya mulai tersengat listrik. Ryu tahu sakitnya begitu teramat menyiksa. Ia tersenyum di tengah badannya yang menggelinjang kesakitan tersengat arus listrik.
"Terima kasih Tuhan," gumamnya. Ia terjatuh ke lantai dan listrik di rumahnya seketika padam.
Erica berteriak dari balik pintu kamarnya dan mulai berlari ke kamar Ryu. Anak penakut itu tidak mau bergelap-gelapan dan bertemu hantu di dalam rumahnya sendiri.
"Kak Ryu mati listrik! Kak coba cek!" ia berteriak ketakutan berlari membuka kamar Ryu.
Cahaya remang sore menembus melalui jendela kamar Ryu. Erica berteriak histeris melihat kakaknya terbujur kaku di lantai. Ini lebih menyeramkan dari melihat hantu dikala listrik padam.
Ia merogoh ponselnya dan menelpon ayah serta ibunya yang mungkin saat ini masih berada di kantor atau sedang dalam perjalanan pulang. Suaranya gemetar, tangannya tidak stabil.
"Pah, kak Ryu pah..." Erica bicara panik kala sambungan teleponnya berhasil.
"Kenapa, Ca?" jawab pria dibalik telepon.
"Ka Ryu ada dibawah lantai, tapi ga bergerak sama sekali, Pah! Pulang pah aku takut." Erica mulai menangis.