Amanda mengambil alih laptop Ryu ketika Ryu mengizinkannya untuk membaca potongan kisah dalam novelnya yang belum selesai.
“First Rabbit?” Amanda bertanya sendiri dan mulai membaca.
“Hidup itu tidak selalu soal kebahagiaan, ada perasaan lain seperti kesedihan, bosan, sakit hati, rasa penasaran, iri dengki dan sebagainya. Sudah kodratnya manusia bisa merasakan semua itu. Apa ya? bisa dibilang karunia Tuhan. Jadi kita tidak bisa selalu ingin bahagia saja. Rasa bahagia dan sedih itu sudah satu paket sama halnya dengan keberhasilan dan kegagalan. Di luar sana, banyak orang baik tapi juga tidak sedikit orang jahat. Kamu akan paham jika sudah bertemu dengan banyak sifat dan karakter manusia.” Ibu berbicara sambil memegang tanganku dengan sangat lembut.
“Tapi Bu, aku juga ingin sekolah ke kota.” Aku masih menunduk.
“Jangan sedih Amir, kamu bisa coba lagi tahun depan. Tahun ini mungkin Tuhan mau kamu membantu Ibu dan Bapak dulu di kampung.” Ibu tersenyum kala aku mengangkat wajah menatapnya.
Aku membalas senyumnya.
“Amir akan mencoba lagi tahun depan!” aku berseru dengan mantap.
“Amir, ayo cepat ikut bapak cari kayu ke hutan.” Suara bapak terdengar dari pintu depan.
“Iya Pak!” aku lekas menyahut.
“Hati-hati ya nak.” Ibu berpesan dan lagi-lagi tersenyum.
“Amir pergi dulu ya Bu.” Aku pamit dan mencium tangan ibu.
“Ayo pak.” Aku lekas membantu bapak mendorong gerobak kayu yang akan kami isi kayu bakar nanti.
Perjalanan dari rumah menuju hutan memakan waktu tiga puluh menit. Rumah kami terletak di sebuah lereng gunung di selatan pulau Jawa. Masih sangat kampung. Aku biasa membantu bapak mencari kayu bakar di hutan untuk keperluan sehari-hari.
“Mir, tidak usah sedih ya. Tahun depan coba lagi.” Bapak membuka obrolan kala kami sudah memasuki sisi hutan.
“Iya tidak apa-apa Pak, kenapa di desa kita tidak ada SMA, Pak? bagaimana nasib anak-anak muda bisa maju kalau untuk sekolah saja harus pergi jauh ke kota dulu,”
“Daerah desa memang masih sangat terpencil, mungkin pemerintah daerah belum berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Bapak juga tidak paham, bapak hanya orang jaman dulu.” Bapak tersenyum.
“Amir ingin masuk SMA kemudian Amir ingin kuliah dan menjadi guru, Pak,”
“Bisa Amir, kamu pasti bisa mungkin belum tahun ini ya.” Bapak tersenyum sama seperti senyum tulus Ibu yang tadi aku lihat di rumah.
“Amir cari kayu ke sana ya Pak.” Aku pamit untuk mengambil kayu-kayu yang berjatuhan di sisi hutan.
“Amir, kalau sudah selesai kamu tunggu di sini ya, bapak akan masuk lebih jauh untuk mencari buah-buahan dan daun pakis, nanti kita bertemu lagi disini.”
“Baik pak.”
Bapak sering masuk ke dalam hutan untuk mencari bahan makanan sementara aku akan menunggu di tempat biasa di sisi hutan setelah selesai mengumpulkan kayu. Bapak melarang aku untuk masuk ke dalam hutan lebih jauh katanya masih banyak binatang buas.
Sudah satu jam aku berhasil mengumpulkan cukup kayu bakar namun bapak belum juga kembali. Biasanya paling lama bapak pergi ke dalam hutan hanya 30 menit.
“Bapak kemana ya?” tanyaku dalam hati.
Dari kejauhan aku mendengar bunyi dedaunan yang bergoyang kasar. Aku mencoba menoleh. Tidak jauh dari tempat aku duduk, memang aku dapat melihat dedaunan di antara semak belukar bergoyang. Dengan sangat penasaran aku ingin melihat, tapi bagaimana jika itu harimau atau ular berbisa?
Aku bangkit dan memberanikan diri untuk melihat ada apa dibalik semak belukar.
Perlahan, dengan tangan gemetar, aku menyapu rimbunnya rerumputan sambil menelan salivaku sendiri.