Ryu menatap lekat-lekat tangan sosok berjubah yang masih terjulur ke arahnya. Amanda masih menangis terisak di hadapannya. Erica masih terdiam di ujung lorong. Ryu lekas berlari ke arah orang tuanya yang masih duduk di samping kiri dan kanan ranjang tempat jasadnya saat ini terbaring.
“Mah, Pah.. Aku disini.” Ryu meneteskan air matanya.
Kedua orang tuanya sama sekali tidak bisa mendengar bahkan menyadari kehadiran Ryu. Ryu terisak begitu mendalam melihat jasadnya sendiri. Ia tidak bisa membendung air matanya. Semua tumpah ruah membasahi seluruh wajah hingga leher dan bajunya. Ryu menutup wajah dengan kedua tangannya sendiri. Berteriak sekencang-kencangnya, namun tetap saja tidak ada satupun orang di sana yang mendengar.
Mendadak suasana menjadi begitu hening, tidak ada lagi suara-suara yang terdengar di sekeliling. Ryu melepaskan dekapan tangannya sendiri dari wajah. Ia melihat sekelilingnya kosong. Ia berada di sebuah ruangan luas dengan banyak sekali pintu. Sosok berjubah itu bahkan kini sudah menghilang. Ryu hanya sendirian berada di ruangan tersebut.
“Dreg.. dreg.. dreg..” Salah satu gagang pintu bergerak begitu cepat seakan ada sesuatu yang hendak keluar dan menerobos masuk dari baliknya.
Ryu mundur perlahan-lahan ketika suaranya semakin kencang dan getaran pintunya semakin terasa.
“Siapa disana?” Ryu berteriak ke arah pintu yang sedari tadi terus bersuara.
Suara itu pergi, keadaan kembali sunyi senyap. Ryu mendekati salah satu pintu dan berusaha untuk membukanya namun terkunci. Ia beralih ke pintu lain di sebelahnya namun sama pintu tersebut tidak bisa dibuka. Ia terus berusaha membuka pintu-pintu lainnya secara bergantian dan hasilnya nihil. Pintu-pintu itu tertutup rapat dan terkunci. Tersisa satu pintu tempat suara-suara gemuruh tadi datang. Dengan tangan gemetar Ryu memegang gagang pintunya.