Ryu dibolehkan pulang keeseokan harinya, hasil pemeriksaan menunjukan tubuhnya baik-baik saja. Dua hari kemudian Ryu mendapat telepon dari penerbit jika naskahnya diterima dengan hanya sedikit catatan revisi, Ryu memang sudah menyiapkan versi terbaik dari First Rabbit karena naskah itu sudah banyak ditolak sehingga ia mendapat banyak masukan dari penerbit-penerbit sebelumnya untuk editing. Ryu merasa sangat bersyukur bahwa Tuhan sudah menyadarkan dia untuk menjadi orang yang tidak putus asa. Satu bulan setelah proses diskusi dan revisi, akhirnya naskah Ryu siap diterbitkan menjadi Novel. Ayah, Ibu dan Erica menjadi saksi pertama bahwa apa yang Ryu perjuangkan selama ini bukanlah hal yang sia-sia.
Suatu hari Ryu mengajak Amanda untuk bertemu, Ia ingin minta bantuan Amanda memilih salah satu dari empat cover novel yang sudah disiapkan oleh tim ilustrator dan editor. Pilihan Amanda dan Ryu setipe. Mereka berbicara banyak prihal bagaimana nanti novel tersebut. Apakah bisa diterima masyarakat atau tidak.
“Apapun nanti penerimaan pembaca, seenggaknya ini langkah awal kamu untuk semakin berkembang menjadi seorang penulis. Ini adalah karya kamu yang pertama.” Pesan Amanda kala itu kepada Ryu.
“Iya, aku memang khawatir tapi seenggaknya aku udah bisa naik satu level buat wujudin mimpi aku.” Jawab Ryu.
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, novel First Rabbit diterbitkan. Penjualan tahap pertama menembus seribu copy, melalui akun media sosial penerbit, kisah hidup Ryu yang berhasil melalui kematian menjadi nilai jual bagi orang-orang yang penasaran dengan sosok Ryu dan karyanya. Setelahnya, penerbit merencanakan grand launching dan book signing agar para pembaca dapat mengenal lebih dekat sosok Ryu secara langsung. Novel tersebut juga berhasil diulas oleh salah seorang penulis ternama dan menaikan kuantitas jualnya. Launchingnya dilaksanakan di salah Mall besar di kota Jakarta. Tidak disangka, antusiasme pembaca begitu besar, total pembaca yang hadir lebih dari tiga ratus orang. Dalam kesempatan tersebut Ryu bercerita banyak hal perihal perjuangan dibalik menulis novel pertamanya.
“First Rabbit adalah saksi betapa sekaratnya diriku selama hampir tiga tahun terakhir, hidup dalam optimisme dan pesimisme yang pasang surut, sampai akhirnya rasa pesimis lah yang menang dan mengambil kendali, mengubahku menjadi orang yang depresi. Beberapa bulan lalu, aku yang sudah lama sekali mengurung diri di kamar mencoba peruntungan terakhir. Dengan sedikit harapan, aku memberanikan diri mengirim naskahnya ke salah satu penerbit mayor. Dua bulan kemudian aku membuka email dan melihat notifikasi bahwa naskahku di tolak editor. Itu adalah penerbit ke sepuluh yang menolak naskahku, padahal, aku sudah menyiapkan versi terbaiknya, berbekal masukan dan revisi dari berbagai penerbit sebelumnya yang berbaik hati memberikan masukan. Aku menyusun ulang first rabbit. Namun aku masih gagal, saat itu aku berdoa pada Tuhan untuk mati saja dan tidak lama Tuhan mengabulkan doaku. Kisahnya sudah beredar luas bukan? Ya, aku merasakan apa itu kematian, recordnya masih ada di Rumah Sakit tempatku di rawat kala itu. Namun ternyata melalu kematian tersebut Tuhan menegurku, bahwa mati bukanlah jalan keluar. Tidak ada doa yang tidak dikabulkan. Hanya masalah waktu saja. Aku sadar bahwa menyerah bukanlah solusi. Tuhan memberikanku kesempatan kedua untuk hidup dan aku tidak menyia-nyiakannya maka saat ini aku bisa bediri di sini dan membagi sedikit kisahku bersama kalian.” Ryu menutup kalimat panjangnya sambil tersenyum ke arah pengunjung yang hadir di acara peluncuran bukunya.
Pada sesi tanya jawab ada salah satu pertanyaan pembaca yang mewakili ribuan orang yang penasaran kala itu.
“Kak, seperti apa rasanya mati?” tanya salah seorang gadis yang memegang novel first rabbit di tangannya.
“Aku rasa pertanyaan ini mewakili banyak orang yang penasaran dengan apa yang aku rasakan ketika mati. Rasanya jauh lebih menyeramkan dari apapun ketakutan di dunia ini. Aku melihat kegelapan, jalan setapak dengan api disekelilingnya kemudian aku harus melewati jembatan hanya dengan sehelai tipis tali. Dan yang paling buruk adalah aku tidak bisa sampai di ujungnya. Aku terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam di mana di dalamnya terdapat lautan kepala manusia yang terbakar dan ular-ular besar yang melahap apa saja yang ada di hadapannya, aku merasa seluruh tubuhku terbakar habis hingga aku bangkit kembali dan tersadar bahwa aku belum sepenuhnya mati. Kalian tidak akan mau merasakannya jadi jangan coba-coba untuk mati ya!” Ryu tertawa kemudian diikuti tawa pengunjung yang sebelumnya hening senyap menyimak jawaban Ryu.
Kevin dan Amanda hadir kala itu, tentu saja mereka tidak mau ketinggalan hajat besar pertama sahabat mereka. Yudis absen karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di Jogja. Kevin merenung sepanjang sisa acara setelah mendengar bahwa Ryu berdoa pada Tuhan untuk mati, ia tersadar bahwa keegoisan dirinyalah yang menjadi penyebab Ryu depresi kala itu. Jika saja ia menerima naskah Ryu saat itu mungkin Ryu tidak perlu merasakan apa yang namanya mati suri. Namun semuanya sudah berlalu, ia pun sudah menebus kesalahannya dengan kembali menerbitkan naskah Ryu.
Ryu melambai ke arah Kevin dan Amanda di ujung kursi pengunjung ketika salah seorang pembacanya baru saja selesai menerima tanda tangan darinya dan berfoto bersama.
“Makasih ya kalian udah dateng.” Ryu turun dari panggung meyapa kedua sahabatnya.
“Tadi keren banget Ri.” Puji Kevin sambil tersenyum.
“Selamat ya Ka Ryu sudah punya banyak penggemar.” Amanda tersenyum sambil meledek.
“Jangan gitu dong, eh, makan yuk!” Ajak Ryu kepada dua sahabatnya.
“Nah ada yang mau traktir nih Man.” Kevin tersenyum ke arah Amanda.
“Ga nolak dong kalau di traktir. Yuk!” Amanda menyetujui ajakan Ryu.
Ketiganya pergi ke salah satu restoran di dalam Mall seusai Ryu berpamitan kepada pihak penyelenggara acara dan tim dari penerbit.
“Ri, aku video call Yudis ya?” izin Amanda sesudah menghabiskan makanannya.
“Oh iya, boleh-boleh.” Ryu menyetujui sambil menyeruput jus jeruknya.
“Nyambung nih.” Amanda menggeser posisi duduknya mendekati Ryu dan Kevin.