Yudis, Ryu, Kevin dan Amanda tiba di lereng gunung Merapi setelah dua jam perjalanan dari rumah. Keempatnya harus melanjutkan perjalanan dengan menyewa ojek hingga ke tepi hutan kemudian harus berlanjut dengan jalan kaki karena medan yang tidak bisa dilalui dengan kendaraan bermotor.
“Matur suwun mas, matur suwun.” Yudis memberikan uang kepada perwakilan satu dari empat ojek yang mengantar mereka hingga ke tepi hutan. Setelah motor-motor yang mereka tumpangi pergi, Yudis mengajak ketiga sahabatnya untuk bekumpul terlebih dahulu sebelum masuk hutan.
“Guys, setelah ini kita harus jalan kaki sampai ke desanya. Kita tinggal ikuti aja jalan setapaknya karena ini satu-satunya akses menuju kesana tapi kita harus tetap waspada ya karena kita akan membelah hutan. Masih banyak hewan liar di sini.”
“Dis, dengan akses yang sulit begini apa bener Amir pulang? Maksud gua rasanya melalui perjalanan sebegini jauh apa dia sanggup?” tanya Kevin penasaran.
“Anak itu udah terbiasa dengan medan ini, ditambah dia beda dari anak lain. Keberanian dia diatas rata-rata, makanya gua yakin dia pulang ke desa.” Jawab Yudis.
“Tapi tujuannya apa?” tanya Amanda.
“Gua juga ga tau karena dia ga punya keluarga di Desa, apalagi jarak dari satu rumah ke rumah juga jauh, gua khawatir terjadi hal ga diinginkan apalagi bokap udah nitipin dia ke gua.”
“Yaudah kita segera masuk deh mumpung masih terang nih.” Ajak Ryu.
“Kita berdoa dulu ya.” Ajak Yudis, kemudian keempatnya merapat dan mulai menundukan kepala masing-masing untuk berdoa.
“Perjalanan harusnya ga jauh, sekitar 40 menit untuk sampai ke batas desa jadi sebelum malam kita bisa sampai.” mulai Yudis sambil melangkah masuk ke dalam hutan.
“Seger banget, udah lama enggak liat pemandangan kaya gini.” Amanda berjalan sambil terkagum melihat rimbunnya pepohonan di kanan dan kiri jalan setapak yang mereka lalui. Cahaya matahari masih dapat menembus celah-celah dedaunan yang memayungi mereka di atas sana.
Ryu seperti merasakan deja vu, jalan yang saat ini ia tapaki seperti pernah ia lalui sebelumnya tetapi ia tidak bisa ingat dimana dan kapan tepatnya.
“Ri, kamu enggak apa-apa?” tanya Amanda memperhatikan raut wajah Ryu yang penasaran.
“Enggak apa-apa Man, aneh aja rasanya aku kaya pernah lewat sini.”
“Hah? Kok bisa?”
“Entahlah Man, mungkin cuma perasaan aku aja.”
“Ssshhhh.” Kevin memberikan isyarat kepada Ryu dan Amanda untuk diam.
“Manda jangan bergerak.” Kevin berbisik sepelan mungkin sambil menggerling ke arah kaki Amanda.
Amanda dengan perlahan mengerjapkan matanya dan melihat sesuatu bergerak di bawah kakinya.
Ryu segera memegang tangan Amanda, menempelkan jari telunjuk ke bibirnya memberi isyarat untuk tenang dan tidak panik.
Amanda menarik nafasnya dalam-dalam dan memejamkan matanya setelah melihat ada seekor ular sanca besar yang melewati kakinya.
Ular itu berlalu begitu saja setelah semuanya diam tidak bergerak.
“Ularnya udah pergi.” Ryu memberitahu Amanda.
“Ya Tuhan, jantungku hampir copot.” Amanda memegang dadanya sendiri sambil bernafas lega.
Kevin mengalihkan pandangan kala melihat tangan kedua sahabatnya itu saling bertautan.
“Vin, makasih ya.” Amanda masih terlihat pucat.
Kevin kembali menoleh ke arah keduanya.
“Iya sama-sama.” Kevin tidak bisa menyembunyikan air wajah sendunya.
Ryu segera melepaskan genggaman tangannya dari Amanda dan berlakon seolah mengambil botol minum dari ranselnya. Ia hapal betul bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk berdekatan dengan Amanda di depan sahabatnya yang juga menyukai wanita yang sama.
Yudis yang memimpin di depan baru sadar bahwa teman-temannya tertinggal di belakang beberapa meter.
“Guys! kalian baik-baik aja kan?” Yudis setengah berteriak menoleh ke belakang.
“Sori Dis tadi ada ular lewat tepat di bawah kaki Manda.” jawab Kevin.
Yudis segera berbalik dan menghampiri mereka.
“Terus gimana?” tanya Yudis khawatir.