Perjalanan Mengalahkan Waktu

Mizan Publishing
Chapter #3

Bagian Pertama (Putih-Merah) #1

tatapanmu adalah kelereng bergulir di remah-remah tawa tanah gersang di kakiku, dan golok di tanganmu tatapanmu adalah pertanda langit hatiku kan runtuh dengan segera

⎯Nurul Maria Sisilia

Sebuah rumah panggung. Atapnya terbuat dari jalinan daun rumbia. Dindingnya dari anyaman bilik bambu, sudah bolong di sana-sini. Karena bentuknya rumah pang-gung, maka kolong rumah itu sering dipakai ayam berteduh kalau hujan turun. Lebih parahnya, kolong rumah itu juga menjadi tempat favorit kucing menimbun kotorannya. Sehingga kalau ayam sedang mengais tanah di kolong rumah, alamat bau tak sedap dari kotoran kucing kemudian menguap. Di kolong rumah itu, tersusun dengan rapi kayu bakar kering yang sewaktu-waktu diambil untuk menghidupkan hawu*dan memasak aneka makanan.

Rumah rombeng itu memiliki empat buah kamar berukuran 4x6 meter. Satu kamar tempat penyimpanan gabah, sedangkan sisanya—dengan ukuran sama—digunakan sebagai tempat tidur. Satu kamar di bagian tengah digunakan suami dan istri, dua kamar sisanya digunakan anakanak. Di tiap sudut kamar, berdiri tikar dari anyaman pandan yang sudah lapuk dengan warna kecokelatan. Bantal dengan sarung dekil—sebenarnya berwarna putih dan sudah penuh dengan iler yang mengering—bertumpuk di dekat tikar. Jika penghuni kamar keluar dari kamar, mereka akan menjumpai ruang tengah yang panjangnya sama dengan ukuran tiga buah kamar tadi—satu kamar lagi, tem-pat penyimpanan gabah padi, berada di dapur. Di ruang tengah itu ada sebuah lemari kecil yang digunakan untuk menyimpan gelas-gelas, piring, dan sendok yang terbuat dari seng dengan ukuran lebar.

Halamannya cukup luas dan lapang. Luas, karena jaraknya ke rumah lain lumayan jauh. Sangat pas dijadikan tempat bermain. Anak-anak sering bermain di sana. Aneka permainan seperti gobag sodor, bébénténgan, boy-boyan, émprak, adalah menu permainan yang biasa dilakukan anakanak.

Waktu itu, usiaku belum genap sepuluh tahun. Di halaman rumah panggung yang luas itu, aku dan teman-temanku tengah bermain. Sardi membuat lingkaran lumayan besar di atas tanah yang lapang dan tidak ditumbuhi rumput. Agar lingkarannya sempurna bundar, Sardi menggunakan seutas tali dari serat batang pisang. Panjangnya sekitar satu lengan. Ujung tali itu ditekan pada tanah, sementara ujung tali yang lainnya diputar dengan bertumpu pada ujung yang tadi sebagai sumbunya. Nanti, ujung tali yang menjadi sumbu tadi akan menjadi titik pusat lingkaran. Sementara ujung tali yang lain diputar, akan membentuk garis yang satu sama lainnya terhubung; menjadi lingkaran. Di titik pusat lingkaran itulah, Sardi meletakkan puluhan kelereng. Kami hendak bermain kelereng. Ia lalu menghitung langkah dari lingkaran itu. Sekira lima langkah, Sardi membuat satu garis lurus, yang nanti akan menjadi batas bagi kami menembak kelereng yang ada di titik pusat lingkaran itu.

* Tungku api terbuat dari tanah liat.

Bermain kelereng, bagi kami, bukan sekadar permainan biasa. Karena bagaimanapun, walau kami masih kecil, keluar sebagai pemenang dari sebuah permainan adalah harga mutlak yang harus didapatkan. Maka selama bermain kelereng itu, mulut kami tidak henti mengoceh saling menjatuhkan mental lawan dan saling membanggakan diri, agar kemenangan bisa diraih.

Sardi si mulut besar yang paling ribut. Mulutnya hampir kering karena mengataiku dan lawan-lawannya yang lain sampai berbusa-busa. Katanya, kami sama sekali tidak berbakat main kelereng. Dia lalu membusungkan dada, sambil menawarkan sebuah jasa kepada kami. Dia siap memberikan les kilat bagaimana bermain kelereng yang baik. Huh, sombong sekali dia!

Lihat selengkapnya