Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #5

Chapter #5 Langkah Kecil Menuju Perjalanan Panjang

 

Pagi ini papa memanggilku. Sejak hari kemarin aku memang tidak keluar kamar, tak sanggup rasanya aku menghadapi mama yang masih menyimpan amarah terhadapku.

Papa memberiku selembar kertas bertuliskan alamat sahabatnya. “Datangi alamat ini, jika sudah bertemu berikan surat ini kepada sahabat papa,” ucap beliau setelah aku duduk di hadapannya.

Tertera nama KH, Abdullah dalam catatan alamat, “Apakah ini sahabat papa?” tanyaku dalam hati.

“Kapan waktu keberangakatanku, Pah?” tanyaku.

“Bebas, kapan pun kamu mau,” ujar papa.

Kualihkan pandanganku kearah mama. Sejak tadi tidak memberikan pendapat sedikit pun.

“Mah… aku tau Mamah masih marah, aku minta maaf untuk semuanya. Ridha Mamah aku harapkan untuk kali ini, agar jalan hidupku menjadi lancar,” ujarku sambil bersimpuh di kedua kakinya. Mama tetap tidak bergeming.

Ia berdiri di hadapanku, seraya berkata. “Lakukan apa yang mau kamu lakukan, anggap Mama tidak pernah ada dalam hidupmu,” ucap mama sambil berlalu tanpa menghiraukan keberadaanku. Ucapan mama benar-benar menusuk relung hatiku. Air mataku kembali menetes.

Mama yang dulu begitu baik dan lembut. Kini menjadi teramat murka denganku, seakan aku adalah pengkianat yang pantas untuk diadili.

Sepeninggalan mama, aku berdiri di hadapan papa. “Aku ingin berangkat secepatnya,” ucapku sambil menatap papa dengan keyakinan.

Papa hanya mengangguk. “Kapan pastinya.”

“Lusa,” jawabku singkat. Sikap mama mambuat tekatku semakin bulat, untuk membuktikan jika pilihanku tidaklah salah.

“Baiklah, tapi… Papa tidak bisa mengantarmu, bukankah kamu sudah dewasa? Papa percaya kamu mampu melakukannya sendiri,” lanjut papa.

“Meski hanya ke bandara?”

Papa kembali mengangguk, kutarik nafas dalam-dalam, “Kenapa dada ini terasa sesak?” bathinku.

Tiba di hari, di mana aku harus berangkat menuju tempat sahabat papa nun jauh di sana. menurut Anisa kota yang aku tuju dekat dengan Jakarta, hanya beberapa jam perjalanan darat. Ucapan Anisa membuatku sedikit tenang, apalagi Anisa berjanji akan menemuiku di sana.

Kutatap rumah yang telah memebesarkanku. Rumah yang sampai hari ini tempat aku bernaung dan mendapatkan kasih sayang kedua orang tua. Kulihat mama memandangku dari balik jendela kamarnya, kucoba memehami persaan mama. Kemarhaan dan murkanya terhadapku, walau bagaimanapun, ia seorang ibu. Aku yakin jauh di dalam lubuk hatinya ia mendoakan atas keselamatanku, hanya saja ego masih menguasai hatinya.

Kutarik koper keluar dari pekarangan rumah. Aku pergi tanpa ada yang mengantar, tanpa ada yang memberikan salam perpisahan apalagi pelukan hangat. Papa seperti mengusirku dengan cara yang halus.

Lihat selengkapnya