Aku terpaku setelah membaca isi surat Papa. Air mataku kembali terurai. Terbayang wajah Papa dengan senyum bijaknya, “Pah, aku akan tetap menjadi putri Papa,” ucapku lirih, seraya melipat kertas surat dan kembali memasukannya ke dalam amplop.
Kiayi Abdullah bercerita tentang persahabatannya dengan Papa, ternyata dahulu Papa tinggal di perkampungan yang mayoritas muslim. Jaman dahulu tidak ada sekolah khusus orang nasrani, jadi Papa bersekolah di sebuah -SD- Negeri yang mayoritas muridnya adalah orang-orang muslim.
Aku menempati paviliun di depan rumah, Kiayi Abdullah. Hari-hari kujalani dengan berbagai kajian-kajian. Aku mulai mengenakan hijab. Umi Maryam mengajakku kepasar rakyat untuk berbelanja kebutuhanku, karena belum mahir menggunakan hijab, maka Umi Maryam, membelikan aku beberapa hijab instan.
Kiayai Abdullah, mengganti namaku menjadi Fatimah Azzahra yang artinya. Gadis lemah lembut yang selalu berseri-seri. Aku menyukai nama itu, apalagi Umi Maryam mengatakan jika nama itu adalah nama Putri Rasulullah Saw yang lahir dari rahim wanita luar biasa bernama Siti Khodijah.
Hanya saja bentuk wajahku yang tidak serupa dengan Fatimah putri Rasullullah. Kulitku putih, hidungku minimlais, mata sipit dengan bibir tipis, karena itu teman-temanku di sini menjuluki aku dengan nama, Fatimah Li-Mey, tidak jarang pula mereka memanggilku dengan sebutan, Mey-mey.
Di sini aku tidak sendiri. Ada beberapa santri putri yang selalu menemaniku dan membantu aku dalam proses pembelajaran. Kukabarkan semua kepada sahabatku Anisa, ia sangat senang mendengarkan cerita demi ceritaku, dan dalam waktu dekat Anisa berjanji akan mengunjungiku disini.
Begitu juga dengan Papa. Aku insten mengirim kabar lewat pesan whatsapp, meski sekedar menanyakan kabar, walaupun sampai detik ini Mama masih sangat marah dan belum bisa menerimaku. Tapi aku yakin suatu saat nanti Mama akan menerimaku dengan baik. Aku tidak pernah melupakan Mama dalam setiap doaku.
Kiayi Abdullah pernah berkata bahwa “Allah akan menjawab doa kita di waktu yang tepat bukan di waktu yang cepat, jika pada saatnya nanti, Allah akan memberikan lebih dari yang kita minta.”
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Aku adalah bentuk nyata kuasa-Nya, sang maha membolak- balikkan hati manusia. Aku tidak pernah menyangka jika aku akan menggunakan busana muslimah seperti ini. Busana yang dulu aku anggap aneh. Kuasa Allah mengubah segalanya.
Rasa cinta dan rinduku yang bermuara pada satu keyakinan mengalir deras tanpa bisa kubendung. Simpul yang kuikat mati di atas kalam Illahi. Mengalahkan segalanya bahkan ikatan darah yang menjadi dilema paling menyakitkan.
*****
Hari yang kunanti tiba, di mana sahabatku akan datang mengunjungiku di sini. Sejak tadi malam tidurku tak tenang, tak sabar menunggu datangnya pagi. Kurapihkan kamar dengan sangat rapih, Anisa pernah bilang “Kebersihan itu sebagian dari iman” aku ingin Anisa tau saat ini orang yang ia temui bukanlah “Heln” yang ia kenal, akan tetapi Fatimah gadis berhijab yang tak kalah anggun dengan dirinya.
Aku tersenyum sendiri mematut diri di depan cermin. Ya Allah …. Sebahagia ini hidupku saat ini, meski jauh dari orang tua, jauh dari belaian mereka. Jalanku memang tak mudah. Tekat dan keyakinanku menguatkan semua rasa.
“Assalamualaikum, kak Li-mey…,” suara salam dari balik pintu menghentikan aksiku di depan cermin.
“Waalikumssalam,” jawabku seraya mendekat ke arah pintu