Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #7

Chapter #7 NGOPI (Ngobrol Perkara Iman)

Suara ketukan pintu mengalihkan obrolan kami. Aku segera menghapus jejak air mata di wajahku, lalu membukakan pintu. “Assalamualaikum, Fatimah,” wanita paruh baya, memiliki raut wajah nan lembut. Senyumnya yang teduh terukir membias dari sisa kecantikan semasa muda. Umi Maryam berdiri di dapan kamarku.

“Masya Allah Umi, ada apakah, hingga Umi repot-repot mendatangi kamarku?” tanyaku yang terselip rasa tidak enak hati.

“Umi sama Abah sedang berbincang, akan lebih baik jika kamu dan sahabatmu turut serta menemani Umi dan Abah minum kopi,” ujarnya.

“Kenapa harus Umi sendiri yang datang? Umi bisa minta yang lain untuk memanggilku,” ujarku masih dengan perasaan tidak enak.

“Tidak apa, sebagian santriawati sedang tajiah. Ada tetangga pondok yang meninggal. Sebagian lagi sedang setoran hafalan bersama pembimbingnya.”

Aku memanggil Anisa. Kami mengikuti langkah umi Maryam, dari kejauhan nampak Kiayai Abdullah sedang duduk bersila seraya memegang buku di pangkuannya.

Kami menghampiri beliau, setelah mengucap salam, dan turut duduk di Gazebo. Rintik gerimis mulai turun membasahi bumi Pondok Pesantren pimpinan Kiayi Abdullah.

Udara dingin lereng bukit menjadi bertambah dingin karena cuaca di awal musim penghujan. Rerumputan sekitar taman, seolah bertasbih dalam bahasanya atas rahmat yang Allah turunkan.

“Kenapa matamu sembab, Nak?” tanya Kiayai Abdullah seraya melihat ke arahku.

Aku tertunduk. Memainkan jemariku dipangkuan. Air mataku menetes, hatiku basah bukan karena hujan. Tubuhku terguncang bukan karena petir, kerinduan seorang anak membuat gelombang asa yang tak bisa kuhentikan.

“Fatimah sedang merindukan keluarganya, Abah,” jawab Anisa mewakili perasaanku.

“Itu hal yang wajar, Allah memberimu hati yang sangat lembut. Peliharalah kelembutan hatimu agar bisa menjadi benteng kekuatan dalam mencari jalan Ridho sang Illahi, jangan kamu jadikan kelemahan yang akan membuat kamu merasa tidak berdaya,” papar Kiayi Abdullah.

“Fatimah… di sini ada Umi sama Abah sebagai orang tuamu, bertanyalah kepada kami jika kamu merasa tersesat, jangan pernah merasa sendiri, Nak.” Ucap umi Maryam sambil meraih tanganku.

Lihat selengkapnya