Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #8

Chapter #8 Sahabat Until Jannah

Salah satu ujian yang cukup berat untukku di sini adalah cuaca, ya… bagaimana tidak, di musim penghujan di saat subuh menjelang. Semilir angin seolah membuai lelapku bersama balutan selimut, hanya basuhan air wudhu yang mampu menampar wajah agar mata terjaga dari rasa kantuk. “Assholatu khairuminannauuuum!” seruan yang membangkitkan semangat akan harapana dalam meniti hari baru, menggema menembus dinginnya subuh yang masih berselimut kabut.

Kabut masih cukup tebal di halaman saat aku berjalan bersama Anisa menuju masjid yang berada di area pondok. Kebiasaanku jika sholat subuh, mengenakan mukena sejak dari kamar. Bagiku balutan mukena mampu menghalau rasa dingin pada waktu subuh. Bangunan masjid yang sengaja di disain tanpa dinding, hanya pilar-pilar besar yang menyangga atap. Memberikan kebebasan semilir angin masuk dan membuai para jamaah dengan kesejukan. membuat mulut menguap di sela takbir dan mata yang sesekali terkantuk.

Selepas sholat subuh aku dan Anisa berpamitan dengan umi Maryam, untuk jalan-jalan di sekitar perbukitan. Udara yang sejuk nan asri. Lahan-lahan pertanian milik warga setempat membentang di sisi kiri dan kanan jalan, yang kami lalui. Matahari mulai menampakan keangkuhannya mengikis embun pagi yang ditinggalkan hujan semalam. Mengintip malu di ujung dedaunan.

Jalan yang menurun dan menanjak sedikt menguras tenaga. Hembusan nafas yang ter-engah keluar dari mulut kami. Oksigen gratis dari sang maha agung kami nikmati dengan rasa syukur. Kupejamkan mata dan kubentangkan tangan dengan lebar. Tarikan nafas dalam dan mengeluarkan dengan perlahan. Kunikmati siraman hangatnya mentari pagi ini. “Ya… Allah begitu banyak nikmat yang Kau berikan, dari awal aku memejamkan mata di hari kemarin hingga awal aku membuka mata pagi ini. Terima kasih, telah Kau beri aku kesempatan menikmati semua anugerah-Mu.”

“Fatimah, itu jalan menuju kemana?” tanya Anisa membuyarkan lamunanku.

“Tanpa menjawab pertanyaan Anisa kutuntun lengannya meniti jalan setapak. Ujung gamis kami menjadi basah menyapu embun di ujung rerumputan yang belum mengering dengan sempurna.

“Taraaaaa….!!! Daannaauu!!” seruku seraya membentangkan kedua tangan setelah kami tiba di pinggir danau.

“Waaah… indah sekalli… meyejeukan mata dan hati,” ujar Anisa sambil mengepalkan kedua tangannya di bawah dagu.

“Kamu betah di dini?” tanyaku pada Anisa.

“Hu’um,” angguk Anisa cepat.

“Jika demikian, pindah saja ke sini.”

“Sekolahku?” tanyanya dengan ekspresi cemberut.

Aku tarik nafas ringan. “Hmmhh! Aku pun tidak tahu bagaimana dengan sekolahku,” jawabku pelan sambil melempar batu kerikil ke tengah danau.

“Belum ada jalan keluar?”

“Aku sudah menghubungi kepala sekolah, Kiayi Abdullah bilang, aku bisa ikut ujian persamaan di sini,” ucapku datar.

“Ya sudah tunggu saja, semoga Allah mempermudah semuanya,” ucap Anisa dan aku mengaminkan ucapannya.

Kami kembali berjalan, langkah kami sedikit terseok karena jalan yang menanjak dan sedikit licin. Sesekali kami saling berpegangan erat saling menguatkan agar tidak terjatuh. Hingga tiba di ladang stroberry.

“Ini ladang stroberry milik Kiayi Abdullah, aku sering sekali di ajak kesini sama umi Maryam, untuk memetik buah yang sudah matang,” ucapku.

Lihat selengkapnya