Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #9

Chapter #9 Lelaki di Area Asrama Putri

Satu minggu berlalu begitu cepat, tiba saatnya Anisa kembali kerumah. Tidak terbayangkan betapa sedihnya aku melepas kepergian sahabatku. Taksi online yang ia pesan sudah memasuki halaman pondok tanda perpisahan kami akan segera terjadi, aku tidak tahu kapan kami akan kembali bertemu lagi.

“Hey… kenapa menagis?” tanya Anisa.

“Apakah kamu tidak sedih berpisah denganku?” Aku balik bertanya.

“Siapa bilang? Aku sedih sekali, tapi… ada yang lebih berpahala dari pada mengeluarkan air mata,” ujar Anisa.

“Apa?”

“Senyum,” ucap Anisa sambil menjemberang kedua pipiku, memaksa kedua sudut bibirku utntuk tersenyum. Aku menghamburkan diri ke dalam pelukannya, bukannya tersenyum aku malah terisak menangis di bahunya memabasahi hijabnya dengan air mataku.

Anisa mengurai pelukannya. Lalu menyalami umi Maryam dan Kiayi Abdullah yang turut mengantar di halaman rumah.

“Bawa ini untuk buah tangan, Nak. Sampaikan salam Umi dan Abah untuk kedua orang tuamu,” Suara lembut umi Maryam, sambil menyerahkan sekantong palstik buah setroberry dan beberapa macam jenis sayuran hasil dari perkebunan pondok.

“Jika ada waktu kembalilah kesini, gerbang pondok selalu terbukan untukmu,” ujar Kiayai Abdullah.

“Baik, Umi, Abah. Terimakasih untuk semuanya, aku titip Fatimah,” ucap Anisa seraya menatapku. Jika bisa ingin rasanya aku mencegah kepulangan Anisa.

Anisa menaiki mobil setalah kembali memeluku sesaat, kulepas kepergian Anisa dengan senyum dan derai air mata. Kulihat Anisa menyeka air matanya setelah duduk dalam mobil lalu mengintruksinya pak sopir untuk segera jalan. Ya Allah…. Jaga dan lindungi selalu sahabatku.

“Fatimah…? tersenyum dong… jangan sedih terus, nanti cantiknya ilang,” goda umi Maryam, setelah Kiayai Abdulllah terlebih dahulu masuk rumah meninggalkan kami.

“Aku tidak tahu kapan kembali bertemu Anisa,” ucapku.

“Ini salah satu bukti jika semua tidak ada yang abadi. Pertemuan dan perpisahan adalah kehendak-Nya, selama Allah meridhai persahabatan kalian, maka Allah akan mengatur jalan pertemuan maupun perpisahan kalian. Tetap saling mendoakan di manapun kalian berada, lakukan semua karena Allah,” papar umi Maryam.

“Iya, Umi. Terimakasih selalu mejadi penenang dan penyejuk hatiku,” ucapku.

“Semoga Allah selalu meridhai persahabatan kalian,” lanjut umi Maryam, lalu pamit untuk menyusul kiayi Abdullah kedalam rumah.

*****

 

Hari-hari kujalani sendiri seperti biasa. Mengikuti kajian-kajian agama, aktivitas selayaknya santri yang berada disini, canda dan senda guaru terhadap santri-santri lainnya, terkadang aku pun membantu teteh-teteh yang masak di dapur santri, hal yang tidak pernah aku lakukan saat di rumah.

Selepas sholat isya kubaringkan tubuhku di atas tempat tidur. Hari ini cukup melelahkan ada kegiatan kerja bakti di lingkungan pondok, karena musim penghujan dan rawan ular masuk ke kamar, jadi kami semua memebrsihkan setiap semak-semak yang ditumbuhi rerumputan liar, menguras semua kolam dan pot-pot bunga agar tidak dihuni oleh jentik-jentik nyamuk demam berdarah, karena banyaknya genangan air.

Seperti biasa aku terbangun di sepertiga malam. Manunaikan sholat tahajud dua rakaat. Membaca Alquran menunggu adzan subuh, meski belum terlalu lancar dalam bacaan namun aku selalu menyempatkan membaca. Umi Maryam bilang jika kita sering membacanya maka lambat laun bacaan kita akan sempurna.

Lihat selengkapnya