Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #10

Chapter #10 Ternyata Menyenangkan

“Kumpul dan bertemanlah dengan kebaikan, jika tidak maka kita akan terkena dampak musibah, atas duduknya atau berdampingannya kita kepada siapapun yang mengajak kita kepada keburukan. Seperti Firman Allah yang diinterprestasikan, di mana duduknya kita bersama orang yang tidak baik, walau pun kita tidak ikut serta di dalamnya, maka dosa dan musibah atas ketidak baikannya akan menimpa kita. Meskipun hanya sekedar duduk barsama. Naudzubillah suma naudzubillah,” papar Kiayi Adullah menutup kajian pagi ini.

Setelah membaca doa Tafarotulmajlis. Para santri dengan tertib keluar dari masjid, aku beserta dua santri, Kanaya dan Alya berjalan bersama menuju asrama. “Kak, tunggu aku!” kami secara bersamaan menoleh ke asal suara. Santri kecil kami teryata yang memanggil, kami menunggu ia menghampiri dan langsung kugenggam tangan mungil milik Sakinah, hingga tiba di depan asrama.

“Fatimah, tidak ingin mampir kekamar kami?” Tanya Kanaya, menawari aku untuk singgah di tempat mereka. Bangunan berlantai dua dan bercat hijau dipadu warna kuning cerah nampak begitu gagah menaungi para pejuang ilmu.

“Aku belum merapihkan kamar. Sebelum makan siang nanti aku sempatkan untuk mampir,” jawabku.

Kegiatan pagi para santri membersihkan kamar masing-masig sebelum sarapan, di sini semua santri tidak mengikuti kegiatan sekolah formal hanya di fokuskan untuk menghafal alquran. Sementara untuk ujian sekolah formal biasanya mereka ikut ujian persamaan di sekolah sekitar yang sudah bekerjasama dengan pondok.

Setelah mereka memasuki kamar, aku melanjutkan langkah menuju kamarku. Sebuah paviliun mungil yang berada tepat di depan rumah sang Kiayai.

“Fatimah!” panggil Umi Maryam saat melihatku melintas di pekarangan rumah. Aku menoleh dan tersenyum. “Kesini, Nak” panggil beliau, aku pun mendekat menuju teras ruamah temapat di mana umi Maryam berada.

Aku mencium punggung tangan Umi Maryam dengan takdzim setelah tiba di dekatnya. beliau menuntunku kearah kursi teras, lagi-lagi kulihat laki-laki menyebalkan itu.

“Kenalkan, ini putra Umi, namanya Haikal, Haikal? Kenalkan santri baru di sini asal Kalimantan Barat, Fatimah,” ujar Umi Maryam memperkenalkan kami.

“Assalamualaikum, F A T I M A H!” ucapnya sambil tersenyum. Ia seperti dengan sengaja menyebut namaku dengan ejaan dan penuh penekanan, terdengar seperti ejekan di telingaku. Aku jawab salamnya tanpa menyebut namanya. Senyum yang sangat menjengkelkan.

“Duduklah dahulu, Nak. Umi ambilkan teh.”

Aku ambil posisi duduk sedikit mejauh dari laki-laki itu, “Lugu sekali kamu, tidak segalak pagi kemarin,” ujarnya seraya menatapku. Aku buang pandanganku ke halaman tanpa menimpali ucapannya.

Lihat selengkapnya