Semburat jingga menyisakan warna nan indah di sore yang cerah. Tidak ada hujan maupun rintik gerimis seperti biasanya, hanya angin semilir yang menyapa dedaunan tanpa terkecuali klopak mawar seolah menari menikmati senja. Aku berdiri menopang tubuh dengan kedua tangan yang bertumpu pada kayu yang menjadi penyangga gazebo.
Para santri dengan celotehan dan canda sepanjang perjalanan mereka menuju masjid. Hijab lebar yang bergerak mengikuti arah angin, sesekali mereka memegangnya agar sang angin tidak mengangkat hijabnya terlalu tinggi diiringi gelak tawa yang tertahan. Suara tawa yang berusaha mereka redam, agar adab yang selalu mereka jaga tidak ternoda.
Kunikmati indahnya lantunan sholawat yang terdengar dari arah masjid menanti adzan magrib tiba dan aku masih enggan beranjak dari tempatku berdiri.
Hingga suara adzan berkumandang aku masih di sini. Kuraih buku yang sejak tadi menemani soreku. Aku memutuskan untuk menunaikan sholat magrib di dalam kamar saja. Badanku terasa sangat tidak enak. Basuhan air wudhu yang biasanya terasa segar, kali ini terasa begitu dingin menusuk tulang.
Tiga rokaat sudah aku tunaikan dengan khusu, doa untuk kedua orang tua dan juga untuk diriku sudah kupanjatkan dengan khidmat, tak lupa pula doa untuk sahabat dan saudara-saudara seiman.
Kurebahkan tubuhku di atas sajadah dengan tubuh masih terbalut mukena. “Ya, Allah, terlalu egois rasanya jika aku selalu meminta kesehatan jiwa dan raga, terlalu banyak pintaku untuk kebahagiaan dunia sementara khidupan akhirat yang akan aku jalani kelak begitu kekal. Ya… Robb kuterima rasa sakit yang Kau berikan, jika rasa sakit ini mendatangkan keridhoan-Mu atas semua sikapku hingga detik ini,” doaku seiring mata terpejam menikmati apa yang aku rasa saat ini.
Aku terlelap di atas hamparan sajadah, entah bagaimana caranya aku tiba-tiba seperti berada pada dimensi waktu yang berbeda. Hamparan rumput hijau terbentang luas dihadapanku, bunga-bunga nan indah dan harum, tumbuh di pijakan kakiku, pandanganku terfokus pada satu bunga dandaloni yang mengering, bunga yang sangat aku sukai. Dandaloni kering yang selalu membuatku bahagia jika meniupnya keudara. Kini bunga itu sudah ada dalam genggamanku, aku meniupnya namun belum sempat pecahan bunga dandaloni itu terbang lebih tinggi tiba-tiba rintik gerimis turun dan melenyapkan semua kelopak dandaloni yang rapuh. Kulupakan dandaloni.
Kepalaku menengadah ketas cakrawala berharap ada tetesan gerimis yang jatuh kewajahku. Tapi … mengapa tubuhku masih kering? Mengapa air hujan seolah enggan mengenai tubuhku? Setengah berlari aku mendatangi rerumputan yang basah namun aku tetap tidak merasakan tetesan hujan di tubuhku. Aku terus berlari mengejar hujan, hingga letih terasa. Detak jantungku berdetak cepat, dan tenggorokan kering, sangat kering, aku kehausan di tengah hujan.
Suara adzan Isya membangunkanku. Aku terkejut membuka mata, kulihat dan perhatikan seuruh ruangan, dengan detak jantung yang berlum beraturan dan napas yang masih tersengal. pandanganku tertuju pada jendela yang belum sempat kututup, aku pun beranjak kearah jendela, rupanya gerimis sudah mulai turun. “Padahal sore tadi cerah,” gumamku menutup jendela. Namun aku urungkan teringat akan mimpi tadi, kujulurkan tangan keluar jendela melewati tralis besi, kutatap kedua telapak tanganku. “Basah,” gumamku kembali sambil tersenyum dan menutup jendala.
Kuraih segelas air putih yang berada di atas nakas sisi tempat tidur, dengan mengucap Bismillah, kubasahi tenggorokan yang masih terasa kering.
“Assalamualaikum,” suara salam dari balik pintu.
Segera kubuka pintu lantas menjawab salam, Nayla dan Kanaya sudah berdiri di balik pintu dengan senyum manisnya, dengan tubuh mereka yang masih terbalut mukena sepertinya mereka baru saja dari masjid.
“Nayla? Kanaya? Ada apa? Masuk yuk,” ajakku.