“Ya… Allah berkahilah kemana pun kaki ini melangkah dan pertemukanlah aku dengan orang-orang yang Engkau Ridhoi,” doaku subuh ini, setelah memanjatkan doa aku tidak lantas beranjak dari tempat duduk. Kusandarkan tubuh pada salah satu pilar besar yang berada di tengah masjid, Kugulirkan tasbih yang tak lepas dari genggamanku, kupejamkan mata seraya memebaca tahlil, takbir dan tahmid. Kupusatkan pikiran dan hati hanya kepada Allah, rasa damai menyeruak kedalam hatiku, ketenangan batin yang kurasakan meski ada banyak pikiran-pikiran menguasai ruang imajinasiku.
Setelah selesai, tak kulihat orang di dalam masjid, hanya ada satu orang yang berajanak hendak melangkahkan kakinya keluar. “Ustadzah!” panggilku.
Ustadzah Ajizah menoleh kearahku, seperti biasa raut tak bersahabat begitu kentara di wajahnya. Sedikit kuangkat kain mukenaku, agar bisa lebih cepat aku melangkah ke arah Ustadzah Ajizah.
“Jika ustadzah ada waktu aku ingin bicara,” ucapku setelah berada di dekatnya.
“Apa yang ingin kamu bicarakan, sepertinya kita tidak memiliki urusan apa pun,” ujarnya dingin.
“Aku ingin meminta maaf,” ucapku tanpa basa-basi. Ustadzah Ajizah tidak menjawab, hanya kerutan dahi yang mengisyaratkan jika dia tidak mengerti dengan apa yang aku maksud.
“Aku minta maaf jika kehadiranku di sini menganggu ketenangan Ustadzah, juga kejadian kemarin pagi di ruang makan.” Lanjutku sambil menundukan kepala.
“Aku ikhlas jika Ustadzah ingin menjatuhkan hukuman untukku, asalkan Ustadzah mau memaafkanku,” lanjutku. Ustadzah Ajizah masih belum bergeming.
“Sudahlah Fatimah, aku pun sudah melupakan semuanya,” ujar ustadzah Ajizah.
“Apakah itu artinya Ustadzah sudah memaafkanku?” tanyaku dengan hati yang berdebar.
“Aku tidak punya hak untuk menolak permintaan maaf siapa pun, sementara Allah saja maha pemaaf dan maha pengampun.”
“Terimakasih Ustadzah, sekali lagi aku mohon maaf. Tegurlah aku jika aku membuat kesalahan yang tidak aku fahami,” Untuk kali pertama ustadzah Ajizah, terenyum memandangku, sebelum ia berlalu meninggalkanku. Entahlah, apa pun yang ada di pikiran ustadzah Ajizah terhadapku setelah ini, yang pasti aku merasa lega saat ini.
Aku berjalan menapaki jalan setapak yang biasa kulalui jika pulang pergi kemasjid. Tidak terlalu jauh hanya beberapa meter, melewati taman kecil beserta beberapa gazebo, asrama putri, dan rumah Umi Maryam.
“Assalamualaikum…,” Suara salam sedikit mengejutkanku.
“Waalikumssalam, Kak Haikal? Ada apa ya?” Tanyaku bingung, tidak sepeti biasanya ia berada di jalan seakan menunggu seseorang.
“Sudah selesai masalahnya?” Tanya kak Haikal dan membuatku lebih bingung.
“Masalah? Masalah apa?”
“Masalah kamu dengan Ustadzah tadi, aku mendengar pembicaraanmu dengan Abah dan Umi tadi malam, dan pagi ini kamu minta maaf dengan seseorang,” ucapnya tanpa mempedulikan raut wajahku yang bingung.
“Kak Haikal, mencuri dengar pembicaran kami tadi malam!” Seruku yang kembali jengkel dengan sikapnya.
“Aku tidak mencuri dengar, hanya tidak sengaja mendengar,” kilahnya.
“Itu sama saja!” Ucapku sedikit penuh tekanan.
“Ah…! Sudahlah, aku hanya mau memberikan ini, satu lagi, nanti malam selepas sholat isya jangan dulu pergi dari masjid, karena aku akan berbagi pengalaman tentang kota Tareem kepada kalian. Assalamualaikum,” ucapnya lantas berlalu pergi meninggalkanku.
“Waalikussalam,” ucapku pelan.