Selepas sholat isya, kami berkumpul di aula pondok pesantren yang letaknya di sudut tembok ujung taman, sedikit lebih jauh dari masjid maupun asrama juga kediaman Kiayi Abdullah. Karena aula sering digunakan kegiatan-kegiatan pondok seperti muhadoroh, latihan burdah dan lain-lain, agar suara-suara aktivitas tidak mengganggu kenyamanan. Dengan alasan itulah aula dibangun berjarak meski masih dalam lingkungan pondok pesantren.
Cerita tentang kota Tareem, selalu membuatku terkagum-kangum terlebih diceritrakan oleh seorang yang benar-benar telah tinggal dan menuntut ilmu di sana. Kak Haikal menceritakan kota para wali tersebut dengan sangat menarik, dari mulai sejarah-sejarah seribu masjid, tempat ziarah makam-makan para wali maupun tentang tuan-tuan guru besar yang menjadi tonggak ilmu disana.
Ustadz muda nan memesona tersebut mengemas cerita dengan apik sehingga terdengar sangat menyenangkan. Gaya anak muda yang dinamis dengan penampilannya yang khas. Kemeja digulung sebatas lengan. Celana semi jeans dan kupluk rajut menyempurnakan penampilannya.
Candaan khas anak muda yang mengundang tawa. Namun tidak meninggalkan adab di dalamnya. Pantas saja jika konten-konten mau pun bordcast yang ia buat bersama teman-temannya selalu mendapat vote dan viewers jutaan dari para folowersnya.
Setelah selesai semua kembali ke asrama masing-masing, dengan berbekal cerita menarik. Aku rasa yang bekesan dari hari ini bukan tentang Masjid jami Shibam yang di dicritakan oleh sahabat Rasulullah, Labid ibn Ziyad Alanshari, atau tempat-tempat bersejarah lainnya di Yaman. Melainkan lesung pipit yang menjadi pemanis sang ustadz mudalah yang menjadi topik perbincangan para santri. Aku mendengar celotehan dan bisikan-bisikan itu dari mereka di saat mereka keluar dari masjid. Tak apalah hitung-hitung penyemangat baru untuk para santri, agar memiliki motivasi dan energi dalam belajar disini, batinku, dan aku geli sendiri dengan pendapatku.
Aku masih duduk di teras masjid, membayangkan, betapa menyenangkannya jika Allah memeberi kesempatan untuk belajar di kota Tareem. Tapi…, apakah aku mampu?
“Fatimah?” Aku menoleh ke asal suara di belakangku, Kak Haikal menghampiri dan mengambil posisi duduk di sudut teras bejarak kurang lebih 1 Meter dari tempat dudukku. Bersandar di salah satu pilar masjid.
“Kenapa masih di sini?” tanyanya.
“Aku tunggu Umi Maryam, beliau masih di dalam, kan?
“Hu’um, Umi masih sholat sunah.”
“Kak, untuk pergi belajar di kota Tareem apakah ada syarat dan ketentuan yang belaku?” Tanyaku, ingin tau.
“Hmm…, Sebenarnya sih tidak, hanya saja untuk memudahkan kita dalam menerima pelajaran di sana ada baiknya jika kita memiliki pondasi pembelajaran terlebih dahulu di sini,” jelasnya, aku mengangguk memahami apa yang ia sampaikan.
“Kenapa, pemberianku tidak dipakai? Tidak suka?” Tanyanya tiba-tiba seraya melihat tasbih di pergelangan tanganku.
“Pemberian? Pemberian apa?” Aku balik bertanya.