Semakin hari keakrabanku dengan Kak Haikal, semakin dekat. Ada banyak hal yang kami diskusian bersama, entah tentang sejarah atau pun tentang pelajaran. Aku sangat menyukai kepintaranya dalam bertutur kata apa lagi jika sedang menjelaskan tentang peradaban Islam. Di mataku Kak Haikal, sosok yang sangat sempurna. Dia tampan, pintar pengetahuan dan ilmu agamanya sangat luas.
“Fatimah? Kenapa kamu memandangku seperti itu?” Tegur Kak Haikal.
“Ah! Tidak, siapa yang memandang Kak Haikal? Aku Cuma sedang memperhatikan lawan bicara,” kilahku gugup. Diam-diam aku mengutuk perbuatanku sendiri yang mulai mengagumi ustadz muda di hadapanku.
“Yakin seperti itu?” Ucapannya terdengar mengejek.
“Yakinlah, bukankah tidak sopan jika kita bicara tanpa memandang lawan bicara,” ucapku sedikit mencari alibi.
“Ok! Baiklah, sudah malam. Kembalilah kekamar. Gak enak sama yang lain nanti terjadi fitnah,” ucapnya, seraya melihat waktu di pergelangan tangan.
Aku mengangguk patuh, lalu berlalu dari teras masjid. Hal ini sering kami lakukan berbincang selepas sholat isya di teras masjid. Bercerita banyak hal.
Setiba di depan kamar ada hal aneh. Sebungkus makanan order online teronggok di atas meja teras. “Milik siapa ini? Perasaan aku tidak pernah order makanan,” gumamku. Untuk menhilangkan penasaran kubuka bungkusan setelah kubawa masuk kedalam kamar. Aroma chines food menggur kepenciuman. Aroma makanan yang sangat aku sukai dan sudah lama sekali aku tidak pernah memakannya lagi.
Ditengah kebinguna suara notif pesan Whatssap berbunyi. Segera kuraih ponsel yang sejak tadi tergeletak di atas kasur. “Dari Kak Haikal” gumamku sambil tersenyum.
“Saat jam makan malam santri tadi, kita masih di masjid. Karena aku gak tau makanan kesukaan kamu apa, jadi aku pesan chiness food. Dimakan ya…, halal kok,” isi pesan Kak Haikal yang di tandai emot menutup wajah. aku tersenyum, seraya kembali memandang bungkusan yang baru saja kubuka.