Ada kesibukan yang berbeda hari ini, para santri sibuk membantu di rumah Umi Maryam. Membersihkan semua ruangan dan mengganti semua yang terlihat usang, termasuk pot-pot bunga yang berada di teras, mereka menggantinya dengan yang lebih segar dan indah.
“Assalamualaikum,” ucapan salamku mengambil perhatian dari semua yang sedang bekerja.
“Waalaikumssalam….” Jawab mereka serempak, bersamaan dengan itu Umi Maryam keluar dari balik pintu. Aku segera menghampirinya dan mencium punggung tangan beliau dengan takdzim.
“Apa yang bisa aku bantu Umi?” tanyaku.
“Hhmm…, sudah hampir rapih sih, kalau gitu, ini saja simpan dalam vas kristal itu lalu letakkan kembali di atas meja, jangan lupa isi air setengahnya ya,” ujar Umi Maryam seraya menyerahkan bunga sedap malam yang di genggam dan menunjuk vas bunga kristal yang masih kosong di atas meja. Aku mengangguk dan segera menjalankan perintahnya.
Sejak pagi mentari begitu ramah menyapa hari, hingga senja ini menghadirkan semburat jingga lukisan sang semesta, pemisah antara siang agar tak berjumpa dengan malam.
Adzan magrib berkumandang, ya…, lantunan panggilan untuk mengingatkan bahwa kita adalah seorang hamba yang memiliki kewajiban. Panggilan dengan nada dan irama yang sangat indah terdengar di telinga.
Kaki kecil ini terus melangkah, setapak demi setapak, kerikil-kerikil kecil itu menjadi saksi perjalananku dalam menggapai ridho sang Illahi dalam tiap waktu dan detik yang aku jalani di sini.
“Assallamualaikum,” sapa seorang wanita paruh baya. Menghalau perjalananku menuju kamar selepas sholat magrib.
“Waallikumssalam…, ada yang bisa saya bantu Umi,” jawabku santun dan penuh senyum.
“Saya dan keluarga ingin bertemu dengan keluarga kiayi Abdullah dan Umi Maryam,” ucapnya.
“Owh…, ada Umi, sebentar saya panggilkan,” jawabku, aku hendak beranjak menuju rumah Umi Maryam. Pandanganku teralihkan oleh sosok wanita muda dengan busana muslimah lengkap menggunakan cadar yang menutupi wajahnya, serta seorang laki-laki paruh baya menggunakan baju koko dan celana senada berwarna putih. Mereka turun dari mobil bersamaan.
Kulanjutkan langkah dengan sedikit lebih cepat dan mengetuk pintu setelah tiba di teras.
“Assallamualaikum,” ucap salamku, dan menyampaikan jika ada tamu yang mencari setelah Umi Maryam membukakan pintu.
“Fatimah bisa bantu Umi? Tolong tamunya dipersilahkan duduk, Umi mau panggil Abah dan Haikal,” ucap umi Maryam, aku mengiyakan permintaannya dan langsung menuju halaman di mana para tamu sedang menunggu.
Setelah mempersilahkan tamu sesuai dengan yang di perintahkan Umi Maryam, aku sedikit bingung apa yang harus aku lakukan. Meninggalkan para tamu? Sepertinya tidak sopan atau menemaninya itu pun tidak mungkin, di tengah kebingungan aku mendengar suara kiayai Abdullah keluar dari dari dalam rumah, mengucap salam dan menyapa tetamunya, di ikuti Kak Haikal beserta Umi Maryam.
Aku hendak melangkah meninggalkan mereka. “Fatimah? Bisa bantu Umi, Nak?” suara umi Maryam menghentikan langkahku.
“Iya Umi,” jawabku.
Aku mengikuti langkah Umi Maryam kedalam rumah. Ia memintaku untuk membawakan minuman untuk di suguhkan kepada para tamu, setelah menyajikan bebrapa kue dan minuman aku kembali kedalam rumah dan membantu Umi Maryam menata meja makan. Ada banyak hidangan yang tersaji, aroma masakan dengan rempah menyeruak ke penciumanku.
“Umi, masakan apa ini?” Tanyaku, karena memang baru kali ini aku mencium hidangan dengan aroma yang sangat kuat.
“Ini namanya nasi mandi, yang ini nasi kebuli,” jawab Umi Maryam seraya menunjuk satu persatu hidangan di atas meja.
“Apa semua ini makanan khas di sini?”
“Ini makanan khas timur tengah.”
Owh… pantas saja aku tidak pernah melihat apa lagi mencicipi makanan-makanan tersebut.
“Mana yang kamu suka? Nasi mandi atau nasi kebuli?” Tanya Umi Maryam seraya menata piring makan satu persatu.