Beberapa santri datang kekamarku, menyampaikan amanah jika aku ditunggu Umi Maryam, serta kiayi Abdullah di gazebo. Tanpa menunggu lama aku bergegas menuju kesana.
“Assalamualaikum,” sapaku.
Umi Maryam dan Kiayi Abdullah menjawab salamku secara bersamaan.
“Duduk di sini, Nak.” Umi Maryam, memintaku duduk di sebe;ahnya.
“Fatimah, apakah kamu masih merindukan kedeua orang tuamu?” Kiayi Andullah, bertanya seraya menatapku.
Aku mengangguk pelan. Ya…, jujur aku memang sangat merindukan mereka. Rasa rindu yang tak pernah padam selalu kutuangkan dalam doa di setiap waktu.
“Bersiaplah, siang ini ikut Abah dan Umi ke Jakarta,” ujar Kiayi Abdullah.
“Ke Jakarta?” Tanyaku heran seraya memandang Umi Maryam.
Umi Maryam hanya mengangguk, aku tidak berani bertanya lagi, anggukan pelan disertai senyum kecilnya sudah cukup memberi jawaban, jiak aku memang harus menuruti mereka.
Bada dzuhur kami bertolak ke Jakarta.
Aku terus mengikuti langkah kiayai Abdullah dan Umi Maryam, memasuki loby salah hotel dan…., Aku melihat sosok yang selama ini sangat aku rindukan. Laki-laki berbadan tinggi besar dengan face oriental. Ia berdiri melihat kedatangan kami.
Papah! Seruku dalam hati, kenapa Papa ada di sini? Hatiku terus bertanya-tanya. Ada apa senebarnya. Kenapa Papa sendiri? Dimana Mama?
Umi Maryam menggenggam tanganku penuh kehangatan seakan merasakan kegelisahan yang berkecambuk dalam jiwaku saat ini.
Papa membentangkan tangan menyambut sahabatnya lalu memeluk Kiayi Abdullah, Papa melihat ke arahku, memeprhatikan busana yang aku kenakan dari ujung kepala hingga kaki, entah kenapa aku tidak berani mengahampirinya. Meski, rindu di hati ini begitu membuncah.
Perlahan langkah Papa menghampiriku. “Apakah kamu tidak merindukan Papa, Nak?” ucapnya. Ada sorot kerinduan yang kulihat dari tatapannya, aku berlari menghampiri. Tangisku pecah dalam pelukan sosok yang selama ini teramat sangat aku rindukan.
“Aku sangat merindukan Papa,” ucapku di sela tangis dalam dekapannya.
“Di mana Mama? Apa Mama masih sangat marah? dan belum mau bertemu denganku?” Berondongan pertanyaan kuutarakan setelah Papa mengurai pelukannya.