Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #16

Chapter #16 Perjumpaanku dengan Mama dan Papa

Beberapa santri datang kekamarku, menyampaikan amanah jika aku ditunggu umi Maryam serta kiayi Abdullah di gazebo. Tanpa menunggu lama aku bergegas menuju kesana.

“Assalamualaikum,” sapaku.

Umi Maryam dan kiayi Abdullah menjawab salamku secara bersamaan.

“Duduk di sini, Nak,” ujar umi Maryam seraya menepuk tangan di lantai gazebo.

“Fatimah, apakah kamu masih merindukan kedeua orang tuamu?” tanya kiaki Abdullah tiba-tiba.

Aku mengangguk pelan. Ya…, jujur aku memang sangat merindukan mereka, rasa rindu yang tak pernah padam selalu kutuangkan dalam doa di setiap waktu.

“Bersiaplah, siang ini ikut Abah dan Umi ke Jakarta,” ujar Kiayi Abdullah.

“Ke Jakarta?” tanyaku heran seraya memandang umi Maryam.

Umi Maryam hanya mengangguk, aku tidak berani bertanya lagi, anggukan umi Maryam dengan senyumnya, sudah cukup memberi jawaban jiak aku memang harus menuruti mereka.

Bada dzuhur kami bertolak ke Jakarta, dalam hati aku betranya-tanya, kemana kiayai Abdullah akan membawaku. Hatiku resah sepanjang perjalanan.

Aku terus mengikuti langkah kiayai Abdullah beserta umi Maryam, memasuki loby salah satu hotel dan…., Aku melihat sosok yang selama ini sangat aku rindukan. Laki-laki berbadan tinggi besar dengan face oriental. Ia berdiri melihat kedatangan kami.

“Papah!” seruku dalam hati, kenapa papa ada di sini? tanya dalam hatiku semakin bertambah apa gerangan yang terjadi, kenapa papa sendiri? tidak kulihat mama yang selalu ada di sisi papah.

Umi maryam menggenggam tanganku penuh kehangatan seakan merasakan kegelisahan yang berkecambuk dalam jiwaku saat ini.

Papa membentangkan tangan menyambut sahabatnya lalu memeluk penuh kehangatan, papa melihat ke arahku, memeprhatikan busana yang aku kenakan dari ujung kepala hingga kaki, entah kenapa aku tidak berani mengahampirinya, meski rindu di hati ini begitu membuncah.

Perlahan langkah papa menghampiriku. “Apakah kamu tidak merindukan Papa, Nak?” ucapnya. Ada sorot kerinduan yang kulihat dari tatapannya, aku berlari menghampiri, tangisku pecah dalam pelukan seorang papa yang selama ini teramat sangat aku rindukan.

“Aku sangat merindukan Papa,” ucapku di sela tangis dalam pelukan dada bidangnya.

“Di mana mama? Apakah mama masih sangat marah? Hingga tidak ingin berjumpa denganku?” Berondongan pertanyaan kuutarakan setelah papa mengurai pelukannya.

Lihat selengkapnya