Dua hari sudah aku berada di Rumah Sakit. Selama ini pula Mama belum mau berbicara denganku. Hanya Papa yang selalu berkomunikasi dengan hangat, menanyakan prhial kehidupanku selama ini di Pondok Pesantren.
Hari-hari kulalui dengan terus beribadah, berdoa dan bermunajat kepada sang pemilik hati. Komunikasiku dengan Umi Maryam intens aku lakukan visa whatssap, tidak henti-hentinya beliau meberiku dorongan motivasi agar aku tetap tegar dan bertahan dalam kondisi saat ini.
Aku manusia biasa, punya rasa lelah dan ego. Namun, rasa cintaku yang begitu besar terhadap orang tua membuatku harus tetap bertahan.
Cucuran air mata tak henti-henti membasahi pipi tatakala aku sedang mencurahkan isi hati kepada sang pemilik hati. Aku yakin suatu saat Allah Swt, akan meluluhkan hati Mama.
Mama terlihat bersemangat menyambut tamu yang berdatangan dari komunitas dan aktivis rumah ibadah, karena Mama salah satu jemaat yang sangat aktif di sana. Mereka datang dari jauh khusus untuk mendoakan kesembuhannya.
Ada beberapa tamu yang menanyakan tentang aku, Namun Mama enggan untuk menjawab, Papa yang selalu memberikan jawaban dari setiap pertanyaan mereka.
Setelah jam bezoek selesai, tiba saatnya Mama untuk makan siang dan minum obat, segera aku raih tempat makan dari kereta dorong makanan yang baru saja diantar oleh petugas.
Kusodorkan sendok berisi makanan ke arah Mama, seperti biasa ia menolak dengan mendorong tanganku menjauh. “Mah…, waktunya minum obat, Mama harus makan,” ucapku lembut.
Tidak ada jawaban dari Mama, sekali lagi aku menyodorkan sendok makannya, Namun, kali ini reaksi Mama di luar dugaanku, dengan kasar ia mendorong tanganku hingga sendok dan piring yang kupegang jatuh berantakan di atas lantai.
Aku tertunduk, mataku mulai memanas, setetes demi setetes air mataku jatuh ke lantai seiring pergerakan tanganku membereskan serpihan pecahan piring. Kutahan sekuat mungkin rasa sesak dalam dada.
Tanpa menoleh lagi ke arah Mama, aku melangkah keluar dengan membawa plastik untuk membuang sampah yang baru aku bereskan. Papa mengikutiku sampai aku duduk di sofa ruang tunggu pasien.
Papa baru menceritakan tentang penyakit Mama. Kangker getah bening yang ia derita ternyata sudah cukup lama Ia selalu menolak pengobatan karena takut operasinya gagal dan aku masih terlalu kecil saat itu.
“Apakah kamu membeci Mama, Nak? Setelah perlakuan Mama terhadapmu?” Pelan ucapan Papa, di sampingku.
Aku menggelengkan kepala. “Aku tidak pernah membenci Mama, prihal perlakuannya, aku mencoba untuk memaklumi,” ucapku.
“Aku bertaruh perasaan dalam menghadapi Mama, itu tidak seberapa di banding Mama yang sudah bertaruh nyawa dalam melahirkan dan membesarkanku,” lanjutku. Papa lantas memeluku erat seolah ada rasa yang ingin ia lepaskan saat itu. Aku mengurai pelukan Papa karena adzan isya sudah berkumandang, kutinggalkan Papa setelah meminta izin untuk ke mushola yang berada tidak jauh dari kamar rawat mama.
Kurang dari 24 jam Mama akan menjalani operasi. Doaku terus mengalir agar Mama, di beri kekuatan dan kesembuhan, aku benar-benar merindukannya. Malam ini kulihat Mama begitu lelap dalam tidurnya. Lama kupandang wajah wanita paruh baya yang tergolek tak berdaya di atas belangkar. Kubelai lembut punggung tangan yang sudah tidak sesintal dulu saat aku meninggalkannya.
Kulihat Papa, tertidur dengan nyenyak, karena itu kuputuskan untuk sholat tahajud di kamar rawat. Kutunaikan dua rokaat dengan khusyuk, berdzikir dan berdoa untuk kedua orang tuaku, dengan linangan air mata yang tak pernah habis.
Sesekali kutengok Mama yang masih terlelap di sela bacaan Alquran yang aku baca dengan suara pelan, rasanya aku tidak ingin beranjak sedikit pun dari sisi Mama.