Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #18

Chapter #18 Duka dan Bahagia

Dengan perundingan dan persetujuan. Akhirnya Mama di makamkan dengan cara islami dan di kebumikan di Cianjur, di area pondok pesantren. Dengan derai air mata aku menemani almarhumah Mama dalam ambulance menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Hatiku benar-benar hancur. Kupeluk jasad Mama dalam tangis dan duka yang begitu pilu. Papa berusaha tegar. Aku tahu sebesar apa cinta Papa untuk Mama. Namun, ia berusaha tegar, tak hentinya Papa menenangakanku di tengah keterpukulannya atas kepergian Mama.

“Nak…, biarkan Mama pergi dengan tenang. Jangan seperti ini, jangan buat Mama sedih dengan kesedihanmu,” ucap Papa seraya membeli kepalaku. Aku menghambur kedalam pelukannya. Menumpahkan semua rasa kehilanganku. Hanya berapa menit aku merasakan kembali kehangatan yang selama ini hilang dari hari-hariku.

Prosesi pemakaman Mama telah usai dan aku masih belum bisa menerima keadaan ini. Aku ingin marah, tapi kepada siapa? Allah? Yang telah begitu cepat mengambil Mama tanpa memberi aku kesempatan untuk menunjukan baktiku kepadanya.

Satu tangan menyentuh bahuku dengan lembut. Senyum hangat kulihat dari susut bibir Umi Maryam. Aku langsung menghambur ke pelukannya. Lagi-lagi kutumpahkan air mata dalam dekapan wanita paruh baya yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri.

“Tidak baik berduka terlalu lama,” ucapnya seraya membeli punggungku. “Kenapa semua ini harus terjadi, Umi,” ucapku di sela tangisan.

“Fatimah, dengarkan Umi, Nak. Kita semua pasti akan mati. kematian akan menghampiri siapapun tanpa terkecuali, maut tidak bisa kita hindari, tidak ada tempat untuk kita bersembunyi. Di manapun kita berada, ajal akan datang menghampiri tanpa kita sadari.”

“Tapi, kenapa harus Mama,” ucapku memelas.

“Takdir adalah salah satu rukun iman yang wajib kita yakini. Terima semua ini dengan ikhlas. Agar jalan Mama menuju haribaannya menajdi lapang dan tenang. Saat ini yang ia butuhkan adalah doa anak yang soleh, bukan air mata,” tutur Umi Maryam, seraya menghapus air mataku dengan kedua tangannya.

Berkali-kali kutarik napas dan menghembuskannya perlahan, tapi dada ini masih teramat sesak. Kehilangan Mama untuk selamanya membuatku sangat terpukul. Terlebih ia pergi justru di saat aku sangat mengharapkan kebersamaan kami kembali, setelah sekian lama terpisah karena ego dan prinsip.

“Allah mengambil Mama di saat aku sangat merindukannya, sakit sekali rasanya." Ruah air mataku kembali tumpah.

Lihat selengkapnya