Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #19

Chapter #19 Rasa Ini Hanya Milikku

 

Satu bulan sudah, Papa, menjadi mualaf. Tinggal bersamaku di pondok Kiayi Abdulah. Selama itu pula Kiayi Abdullah, selalu meyertakan Papa dalam setiap safari dakwahnya.

Atas batuan mang Ujang, papa, mendapatkan sebidang tanah untuk di beli dan membuat rumah mungil untuk tempat tinggal tidak jauh dari area pondok. Rumah yang begitu sederhana dengan halaman yang luas. Sepertinya, Papa ingin mewujudkan impian belahan jiwanya yang telah mehgadap sang kholik. Dulu Mamah selalu bercerita dan bercita-cita ingin memiliki rumah kecil di tengah kebun. Jauh dari hingar bingar kehidupan kota, agar ia lebih fokus beribadah dan mendekatkan diri kepada semesta. Dan hidup menua bersama papa.

Kini Papa sudah mewujudkan impiannya, meski dalam kondisi dan keadaan yang berbeda. Papa melewati hari tuanya seorang diri. Tanpa Mama di sisinya. Misteri hidup memang sulit untuk di tebak. Tapi apa pun itu adalah bentuk cinta Allah kepada hambanya.

Keyakinanku akan takdir Allah semakin bertambah. Sekenario Allah yang maha sempurna. Dia mengmbalikan aku dalam dekapan Papa, dengan cara-Nya. Senandung melodi cinta yang dulu pernah terurai, kini kembali terrajut dengan warna yang berbeda, meski di hiasi luka, duka, dan air mata.

Dengan bekal rantang berisikan makanan, titipan dari Umi Maryam. Aku melangkah memasuki pekarangan rumah mungil papa. Rumah kayu nan asri di kelilingi banyak pepohoan rindang juga bunga-bunga. Kulihat papa sedang duduk sambil memegang buku saku di tangannya. Juga pak Ujang yang senantiasa membatu Papa merawat rumah dan kebun selepas ia jaga malam di pondok.

“Assalamualaikum, Papa,” seraya menjawab salamku. Papa berdiri menyambut kedatanganku membentangkan kedua tangannya. Aku tertawa lebar sambil berlari memeluk Papa, setelah sebelumya menympan rantang makanan di atas meja.

“Pah, kita ziarah ke makam Mama yuk!” Untuk kesekian kalinya aku mengajak Papa. Dan ia kembali menggelengkan kepala tanpa suara. Tatapan matanya jauh kedepan, seakan mengenang satu masa yang tak mudah untuk di lupakan.

Aku paham perasaan Papa, bukan tidak mau ia ziarah ke makam Mama, hanya saja belum mau. Butuh waktu untuk Papa meyakinkan diri dan menerima kenyataan jika separuh jiwanya telah tiada.

Saat Mama menghembuskan napas terakhir. Papa terlihat begitu ikhlas dan tegar, semua ia lakukan untukku. Mungkin, itulah salah satu alasan mengapa Papa tidak ingin aku membersamainya pulang ke Singkawang saat itu. Papa tidak ingin aku melihat kerapuhannya.

 

Dengan sangat hati-hati aku memberikan pandangan-pandangan dalam Islam tentang berduka. Aku tidak ingin terkesan menggurui Papa. “Nak…, meski Papa belum bisa ziarah ke makam Mama, tapi nama Mama selalu ada dalam setiap doa Papa, Papa yakin itulah yang terpenting,” ucapnya lembut. Bukan sekedar ingin menenangkanku, tapi pengetahuan Papa tentang Agama memang sangat baik. Jauh sebelum ia mengucap dua kalimat syahadat. Sedikit banyaknya Papa faham dan mengerti tentang Islam.

Senyum termanis kupersembahkan untuk laki-laki yang begitu kukagumi. Aku pamit untuk kembali kepondok setelah menemaninya makan dan berbincang. Meski Papa telah memiliki tempat tinggal sendiri. aku tetap tinggal di pondok pesantren Kiayi Abdullah.

 

****

 

Kumandang Adzan subuh, bangunkan geliat pagi, sepotong hati resah menadah sabana penuh mimpi. hidup tidak akan pernah berhenti, hanya karena luka hati, karena Luka dan kecewa pasti akan selalu ada. Semua akan membatu kita berproses dalam menjalani kehidupa.

Esok pagi, Kak Haikal, akan mengucapkan ijab qabul bersama wanita yang di cintai. Biasanya akad nikah di langsungkan di kediaman mempelai wanita, namun atas permintaan keluarga pernikahan kak Haikal dan kak Adibba, di langsungkan di Pondok-Pesantren.

Kenapa hatiku sesakit ini membayangkan esok hari. Setelah berwudhu kugelar sajadah. Bersama angin malam yang berhembus kuagungkan Asma Allah. Hujan gerimis mulai turun. Batu-batu kerikil yang mulai basah, gemersik suara dedaunan, seolah turut bertasbih. Menguatkan bathin agar tak resah hanya karena prihal rasa. Kusedekapkan tangan di dada. Tanganku tepat di jantung. Sangat jelas detaknya kurasakan. Tak kubayangkan apa yang akan kurasa esok pagi. Memendam semua yang rasa yang berusaha kuingkari dan kututupi.

Matahari belum lagi sempurna menapaki pagi. Riuh suara tawa bahagia sudah mulai terdengar. Aku mengintip di balik gordyn jendela kamar. Tenda terpasang gagah di pelataran pondok. Terdapat pelaminan megah dan meja kecil yang sudah di hiasi bunga-bunga indah, sebagai tempat dimana kak Haikal, akan berikrar menjadi seorang imam untuk makmumnya. Semua di balut baground nuansa putih biru. Umi Maryam bilang itu adalah warna kesukaan kak Adibba.

“Assalamualaikum,” suara salam di balik pintu, membuyarkan lamunanku. Dengan malas aku beranjak dari tempat duduk dan membukakan pintu.

“’Key? Ada apa?” tanyaku setelah melihat Keyla yang datang.

“Aku di minta umi Maryam untuk melihatmu, beliau bilang dari sejak semalam kamu tidak keluar kamar.”

Lihat selengkapnya