Jika kehidupan ini laksana menyusun sebuah puzzle. Kurasa apa yang kujalani sampai saat ini, duka, bahagia, kecewa, dan air mata, adalah sebuah puzzel yang harus kususun dan kusempurnakan.
Jalan yang Allah berikan tidaklah selalu mulus dan sempurna. Seperti saat Papa menelponku dengan suara parau dan sedikit cemas.
“Nak, Papa minta maaf jika bulan-bulan selanjutnya. Papa mungkin akan telat mengirim uang untukmu,” ucap Papa di telpon tadi.
“Kenpa Pah? Apa Papa sakit?” Rasa kahwatir tiba-tiba menghantuiku.
“Nggak, Nak, Papa baik-baik saja, hanya…,” Suara Papa terjeda membuatku semakin khawatir.
“Hanya apa, Pah?”
“Orang kepercayaan Papa, membawa lari uang persahaan dengan jumlah yang cukup besar.”
Kupejamkan mata, membayangkan betapa beratnya pikiran papa saat ini. Aku berusaha menangkan, dengan berdalih jika aku masih mempunyai uang tabungan untuk bekalku selama di sini.
Sejak mendapatkan kabar dari Papa, aku mulai berpikir untuk mencari kostan yang lebih murah. Setiap pulang dari kuliah aku sempatkan diri berkeliling sekitar kampus, untuk mencari rumah tinggal. Masih ada waktu sekitar 2 bulanan. Setelah sewa apartemen yang kutempati habis masa sewanya.
Dengan peluh yang mulai membasahi dahi. Aku terus berjalan menyusuri bukit-bukit padang pasir. Melewati rumah-rumah dan bertanya kepada siapapun yang kujumpai, guna mendapat informasi untuk tempat tinggal yang kucari.
“Yabunayah!” Suara panggilan menghentikan langkahku, seorang wanita memandangku. Menghentikan aktivitasnya menyapu halaman rumah, dan menyandarkan sapunya pada pohon kurma.
Aku menhgamprirnya. Mengucap salam dan mencium punggung tangannya dengan takjim. Wanita usia sekitar 50 tahun di hadapanku, menatap penuh tanya. “Hubabah, namaku Fatimah, dari Indonesia. Aku sedang mencari rumah sewa yang tidak terlalu mahal,” ucapku seraya memandangnya.