Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #23

Chapter #23 Rasa Itu Ada

Kebingungan melandaku sepagi ini. Pasalnya perbekalan di rumah sudah habis. Salahku adalah lupa mengecek isi kulkas dan lemari stock makanan, jika tidak aku bisa berbelanja setelah pulang dari kampus. Sementara yang boleh kepasar di sini hanya laki-laki. Di Tareem, wanita tidak boleh masuk pasar. Tugas wanita-wanita di sini hanya di rumah, memasak sementara berbelanja itu adalah tugas laki-laki. Salah satu alasannya yang utama adalah untuk menjaga fitnah. Semulia itu Islam di Tareem, menjaga kehormatan seorang wanita.

Kuberanikan diri mengirim pesan whatssap ke nomor Iqbal. “Assalamu’alaikum, Iqbal.” Pesan pun terkirim.

“Waalaikumssalam, ada apa ukh. Apa ada yang bisa kubantu?” Balas Iqbal. Secepat itu ia membalas pesanku. Akh! Mungkin ia sedang tidak sibuk, gumamku dalam hati.

Lalu kuceritakan, apa yang aku alami saat ini. Iqbal memeberiku dua pilihan. Kirim list belanjaan, nanti ia akan mengirim via paket atau bertemu sekalian mengisi liburan pekan ini dengan berkunjung ke tempat-temat bersejarah di Tareem. Sudah barang tentu aku memilih option yang ke dua, dengan syarat aku harus mengajak teman wanita, agar pertemuanku dengan Iqbal nanti tidak menimbulkan fitnah.

Perjalananku terasa lebih ringan pagi ini. kenapa? Apakah karena ingin bertemu dengan Iqbal? Sosok yang baru kukenal dan dia begitu baik terhadapku selama ini. Tapi…. Kita sama-sama orang Indonesia, biasanya jika kita bertemu dengan orang yang satu daerah di perantauan, itu sama dengan kita bertemu saudara. Senang dan bahagia itu sudah pasti. Bukan karena hal lain. Ya, semoga.

Sebelum bertemu Iqbal, aku lebih dahulu bertemu dengan Hanna, di tempat yang telah kami sepakati. Setelah itu kami sama-sama bertemu Iqbal.

Iqbal dan Hanna, adalah teman diskusi yang sangat menyenangkan, meski kami berbeda kampus dan jurusan dalam menempuh pendidikan. Hanna seorang mahasiswi jurusan Humaniora, Iqbal lebih mendalami ilmu kesehatan, yang di adopsi dari metode-metode Ibnu Sinna, sementara aku lebih tertarik memeperdalam Alquran dan Ilmu hadist.

“Fatmiah, apa yang membuatmu merasa jika islam itu indah?” Tanya Hanna, ketika kami sedang berada di pelataran Masjid Almukhdor. Salah satu Masjid yang sangat bersejarah di Kota Tareem.

“Alquran dan Rasulullah. Setiap kali membaca Alquran, hatiku selalu bergetar, seperti ada kekuatan spiritual yang tidak dapat aku ungkapkan dengan kata-kata. Dan cinta Rasullullah terhadap umatnya yang membuat aku selalu merasa berbunga-bunga,” ucapku, seraya memandang keindahan masjid Almukhdor.

“Kalau aku boleh tau, hidayah apa yang membuatmu hingga sampai di titik ini?” Rupanya ada banyak pertanyaan yang mengganjal di hati Hanna, tentang aku. Setelah sekian lama kami berteman, baru kali ini ia mempertanyakan hal itu.

“Alquran. Saat aku melihat kitab tebal yang begitu karismatik di mataku. Aku melihat pertama kalinya di rumah sahabatku di sepertiga malam. Hanya beberapa kalimat yang kubaca. Tapi…, entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang sulit kuterjemahkan. Persaan takut sekaligus bimbang. Namun, ada dorongan yang begitu kuat, membuatku kembali membuka lembar demi lembarnya,” ucapku sambil mengingat saat pertama kali aku memegang kitab suci Alquran di rumah Anisa, kala itu.

“Lalu bagaimana dengan kedua orang tuamu?” Dengan rasa penasaran yang mengigit Hana, kembali bertanya.

Tarikan nafas pelan keluar dari mulutku, teringat akan Mama dan Papa, saat itu. “Berbulan-bulan aku menjalankan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Hingga akhirnya Mama mengetahui hal itu dan dia sangat murka. Mama sangat memebenciku di mata Mama aku laksana pengkhianat yang pantas untuk di adili.” Tuturku, mengenang hal itu. tanpa di sadari, air mataku menetes.

“Aku sangat sedih saat Mama menderita sakit dan mengembuskan nafas terakhirnya, sesaat setelah ia mengucapkan kalimat syahadat dan saat itu untuk pertama kalinya aku melihat Mama tersenyum di hadapanku, lalu memelukku dengan erat, setelah sekian tahun aku kehilangan semua itu. kuasa Allah menyatukan kami meski sesaat.” Lanjutku.

“Aku begitu mengagumimu, Allah maha baik, kalian akan berkumpul di syurga-Nya, kelak.” Jawab Hanna, sambil mengenggam jemariku dan memandang lurus bola mataku.

“Aku bukanlah siapa-siapa, aku hanya insan yang senantiasa mengharap ridha sang Illahi. Semoga perjalanaku kelak bisa menjadi ikhtibar untuk orang banyak,” ucapku, serya membalas senyum Hanna dan mengaminkan ucapannya dalam hati.

Setelah berbincang sebentar. Aku, Hanna, dan Iqbal menaiki bus menuju satu tempat. Bukan Mall bukan pula taman atau kafe, tetapi, Zambal dan Furait, dua tempat tersebut adalah pemakaman. Ribuan Waliyullah di yakini dimakamkan di sini.

Lihat selengkapnya