Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #27

Chapter #27 Keputusanku

Hati dan pikiranku terasa begitu lelah, hingga aku tertidur dalam sujud tanpa terasa. Suara adzan subuh membuatku tersadar jika aku masih berada di dalam masjid. “Fatimah, kamu baru saja terbangun. Lekas berwudhu. Sebentar lagi sholat subuh berjamaah akan segera di mulai,” ucap umi Maryam yang duduk di sebelahku sudah menggunakan mukena lengkap. Dengan perasaan malu aku mengangguk dan berlalu menuju tempat wudhu.

Sholat subuh berjamaah selesai sudah, langit biru mulai meremang syahdu bersama angin pegunungan yang semilir menerpa wajah. aku dan umi Maryam berjalan menyusuri jalan setapak berkerikil menuju rumah.

“Umi, saat tertidur di masjid tadi aku sempat bermimpi,” ucapku di sela langkah kami.

“Seperti apa mimpimu?” tanya umi Maryam, menghentikan langkahnya.

“Ada seorang wanita cantik mendatangiku, ia memandangku dengan senyum. Tanpa berkata apa pun ia menuntun langkahku menuju satu tempat, tapi…, belum sempat tiba di tempat tujuan, adzan subuh membangunkanku,” tuturku di akhiri senyum kecewa dengan ending mimpiku sendiri.

“Semoga ini bertanda baik,” ucap umi Maryam, singkat karena kami sudah tiba di depan teras rumahnya.

Aku pun melanjutakan langkah untuk kembali ke kamar. Entah mengapa hatiku saat ini terasa begitu lapang. Apakah hati dan pikiranku sudah terlalu lelah memikirkan semuanya? Atau kini aku berada di titik pasrah. Pasrah akan takdir yang akan aku jalani.

Aku menelpon papa, memberi kabar jika pagi ini aku akan ke pondokannya. Papa menyambut dengan gembira. Kunikmatii langkah-langkah kakiku yang menyapu embun pagi, kuhirup udara segar hingga memenuhi rongga dada. Hangat sinar mentari, sehangat senyum para warga yang menyapa saat berpapasan denganku. Geliat pagi yang begitu kurindu di lereng bukit Desa Padaluyu. Aku berdiri sesaat memandang bayangan gunug nun jauh disana. Indah sempurna lukisan sang maha karya.

Aroma kertek mang Ujang tercium saat aku tiba di ujung pondokan papa, padahal jaraknya sekitar dua meter. Setajam itu aroma kretek mang Ujang, membuat aku tersenyum seraya menggeleng pelan menatap laki-laki berkulit sawo matang yang sedang membersihkan halaman.

“Assalamualaikum, mang Ujang,” sapaku. Ia terkejut dan berbalik badan, karena posisiku berada di belakangnya.

“Waalaikumssalam Neng, bikin mang Ujang kaget saja!” serunya.

“Lanjut mang, saya Cuma mau ketemu papa,” ucapku sambil berlalu dan terkekeh pelan.

“Assalamualaikum, Papa!” suasana dalam pondokan sunyi, aku langsung menuju kamar papa, tapi kosong. Kucari di sudut lain tidak juga kutemui keberadaan papa. Aku mulai panik, di saat aku hendak berlari keluar menemui mang ujang tiba-tiba suara papa terdengar dari arah dapur yang memang sedikit terpisah dari pondokan utama. Ada beberapa anak tangga dan lorong kosong tanpa dinding yang benghubungkan ke arah taman samping pondokan dan di isi oleh meja makan.

“Papah? Sedang apa disini!” seruku sambill berlari kearahnya.

Papa berbalik badan, “Papa sedang membuat ikan bakar kesukaanmu,” ucap papa sambil tersenyum lebar. Aku langsung memeluk papa dengan erat, sementara papa tidak bisa membalas pelukanku, karena tangan kananya memegang grill pan dan kuas yang baru saja di oleskan mentega.

“Sejak kapan Papa bisa masak?” tanyaku heran. Karena selama aku mengenal papa sedikit pun ia tidak pernah memegang alat masak, meski sekedar mengoles menterga di atas roti pun pasti minta bantuan mama.

“Sejak chef Ujang mengajari Papa mambuat banyak masakan,” ucapnya tertawa lebar. Bahagia rasanya melihat papa bisa tertawa lepas seperti ini.

“Bagaimana? Enak ikan bakarnya?” tanya papa saat aku mencicipi ikan bakar buatannya.

Lihat selengkapnya