Gema sholawat berkumandang di aula serbaguna pondok pesantren. Satu persatu nama-nama santri di panggil melalui pengeras suara. Saat ini sedang beralngsung acara mawadda’ah (wisuda) bagi para santri yang telah khatam 30 juz Alquran dan menyandang gelar haifdzah.
Aku turut sibuk menjadi panitia demi suksesnya acara tersebut. Sesi demi sesi rangkaian acara terlaksana dengan sangat baik. Tangis haru dan doa para wali santri mewarnai suasana yang mengharu biru dalam balutan suara anak-anak yang menampilkan berbagai kreasi. Dari mulai nasyid hingga hafalan-hafalan yang sudah di tentukan oleh panitia.
“Fatimah, dipanggil umi Maryam.” Ustadzah Ajizah, menyampikan pesan serta memberitahu di mana keberadaan Umi Maryam.
Umi Maryam sedang berbincang dengan seorang wanita muda yang sangat cantik. Aku menghampiri mereka, mengucap salam dan Umi Maryam, memperkenalkan aku kepada temannya.
“Fatimah, ini Aisyah, sahabat Umi, apakah kamu bisa menemaninya? Ada banyak wali santri yang ingin Umi jumpai,” ujar Umi Maryam.
“Insya Allah, bisa Umi,” jawabku.
Selepas kepergian Umi Maryam, kami berbincang hangat, Kak Aisyah, begitu humble. Aku meminta izin untuk memanggilnya Kaka, karena kulihat ia lebih tua dariku tapi lebih muda juga dari usia Umi Maryam.
Ada banyak hal yang ia tenyakan kepadaku, bahkan seputar kehidupan pribadi, seperti kapan aku masuk Islam, apa yang membuatku tertarik dengan Islam dan aku menjawabnya dengan senang hati.
“Fatimah, apa kamu sudah punya pacar?” Aku tersentak dengan pertanyaannya.
Kutarik napas dalam sebelum menjawab pertanyaannya. “Memilikii pasangan adalah keinginan yang alami untuk gadis seusiaku. Hubungan itu akan indah pada awalnya seblum menjadi rumit dan membingungkan.” Ucapku seraya tersenyum.
“Pacaran adalah urusan yang sepenuhnya emosional dan menguras pikiran dan aku tidak ingin membuat Allah cemburu.” Lanjutku dengan senyum yang lebih lebar.
“Maksudnya?” Kak Aisyah, bertanya sambil mengernyitkan kening.
“Iya, kalau aku punya pacar pasti perasaanku akan terbagi, pikiranku, khayal dan anganku akan di sibukan dengan hal itu. jadi cukuplah Rasulluah yang menjadi kekasihku hingga akhir kahyat.” Ucapku sekenanya.
“Subhanallah, semoga Allah mengirim jodoh terbaik untukmu,” ucapnya sambil menyentuh lenganku. Suara Adzan ashar terdengar dari toa masjid pesantren.
“Sudah masuk waktu ashar, Kak, mari kita sholat dulu."
“Tapi, sepertinya masid begitu ramai dengan wali santri,” Jawabnya. Aku berpikir sejenak.
“Bagaimana jika kita sholat di kamarmu, Bisa?” lanjutnya sebelum aku menjawab ucapannya.
“Oh! Sangat bisa. Mari, kamarku ada di depan sana, paviliun mungil di depan rumah Umi Maryam,” jawabku sambil menunjuk arah kamarku dengan ibu jari.