Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #29

Chapter#29 Permintaan Terakhir Papa

Deru mobil memecah hening. Malam senyap tanpa suara, gulita menyelimuti jala tol. Rembulan malu-malu lewat selipan awan. Hembusan angin menabrak kaca mobil. Laju terus bertambah. Sesekali menyalip kendaraan lain yang berjalan lamban.

Air mataku terus mengalir seiring laju roda kendaraan yang terus berputar cepat. Angka spedometer sudah mencapai batas maksimal, sementara bagiku waktu seakan berjalan sepuluh kali lipat lebih lambat. Tangan dingin Papa terus kugenggam.

Berapa jam lalu, Mang Ujang tergoboh memasuki pekarangan pesantren. Menggedor pintu kamarku dengan sangat keras. Kabar mengejutkan ia sampaikan. Dengan tergesa dan terbata. Mang Ujang memebritahukan jika Papa pingsan di pondokan.

Dengan bantuan Mang Ujang, Papa di larikan ke Rumah Sakit menggunakan kendaraan pesantren. Sementara Kiayi Abdullah dan Umi Maryam, masih di Luar Kota, karena ada sanak family yang meninggal dunia.

Setiba di Rumah Sakit, Papa masih belum sadarkan diri. Tim dokter segera menangani kondisinya. Beberapa jam telah berlalu, mataku tidak berpaling sedetik pun dari pintu ruang tindakan yang masih tertutup rapat.

Pintu terbuka tepat pukul 01:30 dini hari. Aku beringsut dari bangku ruang tunggu dan berlari menghampiri Dokter.

“Bagaimana kondisi Papa, Dok?” Tanyaku, panik.

Dokter memberikan keterangan jika Papa harus di rawat di ruang intensif, karena belum sadarkan diri. Kupandang sosok yang terbaring di atas belangkar dengan tubuh penuh dengan kabel-kabel peralatan medis. Aku hanya bisa menangis di balik kaca jendela ruangan ICU.

Di keheningan malam, duka bergelayut dalam dada. kutadahkan kedua tangan ini. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dadaku bergemuruh hebat. Air mataku mengucur deras saat mengucap kaliamat itu. shalatku terhenti. Aku kira akal yang di titipkan dalam jasadku adalah segalanya. Sekarang akalku bersujud di kakai-Nya. Pada akhirnya aku benar-benar mengakui kelemahan dan ketidak berdayaanku sebagai seorang hamba. Engkau sang maha perkasa, kuasa atas segalanya. Ampunii aku ya, Allah, jika hati ini belum ikhlas atas sakitnya Papa. Aku tidak sanggup jika harus kehilangannya. Jiwa ini lemah dan tak berdaya.

Pagi ini diam dan sunyi. Kutatap pucuk-pucuk bunga yang terpaku bisu di halaman Rumah Sakit. Membawa jiwaku mengembara menembus batas lamunan. Kusimpan setangkup rindu di sudut hati. Kekhawatiran membias rindu, masih sanggupkah tangan ini melukis langit dan menggambar garis-garis wajah yang sangat kucintai. Maafkan aku ya, Allah, semua milikmu dan akan kembali kepadamu.

“Permisi, dengan Heln Patricia?” Sosok laki-laki berpakain rapi berdiri di hadapanku dengan dengan senyum ramah menyapaku. Aku terkejut dan berdiri dari duduk seketika.

“Iya, betul. Om Markus?” Ada rasa aneh yang menggeleyer dalam dada. Om Markus adalah kuasa hukum sekaligus pengacara keluarga kami. Ada apa hingga beliau jauh-jauh terbang dari Singkawang ke Jakarta? Apakah ia tau prihal sakitnya Papa?

“Iya, betul sekali. Kamu begitu anggun, saya nyaris tidak mengenali,” ujarnya. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Dulu sewaktu di Singkawang, beliau menegenalku sebagai Heln Patricia, remaja non muslim dengan face oriental, dan dia sering memanggilku dengan sebutan Oshin. Salah satu tokoh dalam film jepang.

“Ada yang ingin saya sampaikan,” lanjutnya. Dan aku mengajaknya ke kafetaria Rumah Sakit, karena aku tidak mungkin pergi jauh dengan kondisi Papa saat ini.

“Begini, Nak Heln….”

“Fatimah, sekrang namaku Fatimah Azzahra, Om?” ucapku memotong ucapannya.

“Owh! Ok, Fatimah, nama yang ukup indah,” ujarnya seraya tersenyum. “Terkait hal ini, Pak Chandra meminta Om datang ke sini, karena ada beberapa hal yang harus di bahas denganmu.”

“Pertama, prihal dokumen-dokumen pribadimu yang akan diganti nama, dari Heln Patricia menjadi Fatimah Azzahra. Agar memudahkan pemindahan alih semua aset milik keluarga,” aku mengangguk faham dan menyetujui hal itu.

Lihat selengkapnya