Dua minggu berlalu setelah pertemuanku dengan Gus Farhan. Lekat kupandang wajah pucat Papa yang masih terbaring di rumah sakit. Aku dengan balutan gamis putih, serta hijab dan nikob yang di hiasai payet soroski. Kemewahann busana mebalut tubuhku dengan rasa yang tak dapat kuartikan. Umi Maryam dan Kiayi Abdullah duduk tenang di sofa sudut ruangan, berbincang bersama penghulu dan beberapa tim dokter yang turut hadir dalam ruangan. Aku duduk di sisi tempat tidur terus menggenggam lengan kokoh yang baru saja di lepas dari selang infus. Jemari lentikku yang telah di hiasi hena semalam, terus membelai lembut punggung tangan yang sesaat lagi akan menyerahkan tambuk tanggung jawab atas diriku kepada laki-laki yang di anggap terbaik untuk hidupku, agamaku, dan masa depanku.
Berulang kali kutarik napas pelan. Tak pernah kubayangkan jika hari sakralku dalam hidup akan berlangsung seperti ini. di dalam ruangan serba putih. Tanpa dekorasi pesta. Hanya untaian ronce melati yang bertahta menjadi bandana di pucuk kepalaku bak mahkota.
Semua mata memandang ke arah pintu rumah kamar yang terdengar salam serta ketukan. Umi Maryam beranjak membukakan pintu. Langkah pelan seorang laki-laki gagah dengan busana senada denganku, diapit kedua orang tua yang merupakan kakak dari Gus Farhan, sebagai pengganti kedua orang tuanya yang telah tiada.
Jangan bertanya tentang perasaanku saat ini. aku pun tidak tahu seperti apa perasaanku. Senang, sedih, dan bingung berbaur menjadi satu. Tak bisa di lukiskan dengan kata-kata, hanya tatapanku kepada Umi Maryam, agar beliau memberitahukan apa yang harus aku lakukan.
Umi Maryam, menghampiri dan menggenggam tanganku, lalu membimbingku duduk di sofa sudut ruangan. Kiayai Abdullah, menuntun Gapa, menuju kursi dan meja yang di sediakan untuk ijab kabul dan duduk berhadapan dengan gus Farhan, sementara beberapa dokter, duduk di belakang Gus Farhan.
Sepersekian menit aku terpaku, saat penghulu membacakan surat pernyataan setuju dari istri pertma Gus Farhan, atas pernikahan ini. Sesuatu yang nyaris kulupa, sepotong hati yang mungkin sedang terluka. Merintih menahan tangis dan perih di atas senyum bahagia sebuah pernikahan.
Kugenggam erat jemari Umi Maryam. Aku memandang wanita yang saat ini mendampingiku, air mata menegalir perlahan jatuh membentuk anak sungai di kedua pipiku. Uami Maryam tersenyum dan menghapus air mataku denga ibu jarinya. “Tersenyumlah, setelah ini semua akan baik-baik saja,” bisiknya di telingaku. Aku mengangguk pelan akan tetapi gejolak rasa di hati ini tak dapat memungkiri akan rasa bersalah di atas nama sesama wanita.
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzukuur wa radhitu, wallahu waliyu taufik,” berakhirnya gema suara janji setia Gus Farhan, disambut dengan senyum dan suara riuh, “Sah!” dari para saksi yang hadir. Semua tersenyum, begitu pun Papa. Aku melihat senyum Papa penuh arti.
Umi Maryam, menuntunku berjalan menuju satu kursi kosong di samping Gus Farhan. Dengan takzim kuraih dan kucium punggung tangan laki-laki yang kini resmi menjadi suamiku. Gus Farhan, meletakkan satu tangannya di ubun-ubun kepalaku, seraya melafalkan doa, lalu mengecup keningku penih kasih.
“Gus Farhan, Fatimah adalah putri Papa satu-satunya, permata dalam hidup dan belahan jiwa sepanjang hayat. Mulai saat ini semua tanggung jawab Papa serahkan kepadamu. Bimbing dan didiklah dia dengan baik sesuai dengan syarat dan syaret islam. Jika ia bersalah tegurlah dengan lemah lembut. Papa berharap kamu dapat menyayangi dan mencintai dia seperti Papa menyayangi dan mencintainya." Dengan suara terbata dan senyum yang terus mengembang, sesekali mata sayunya memandang wajahku.