“Kami sudah melakukan semaksimal mungkin, namun Tuhan berkehendak lain,” ucapan Dokter bak sambaran petir di telingaku, menggelegar menghantam seluruh jiwa dan persaan. Dunia seakan runtuh, kembali kurasakan sakit, sangat sakit dan menyesakkan dada. Aku terdiam, air mata kering sudah tak ada lagi yang tersisa.
Pelan kulangkahkan kaki menuju pembaringan, kudekati sosok yang sudah tak berdaya. Senyum terukir di wajah pucatnya. Senyum yang akan abadi hingga jasad terkubur di pembaringan terakhir. “Aku ikhlas, Pah,” bisikku menahan segala nyeri.
Kupejamkan mata, sisa air mata mengalir perlahan. Kutahan semua emosi dalam dada. aku terkulai di sisi tempat tidur, hingga tangan kokoh pengganti sang Papa menyentuh punggungku.
“Fatimah,” ucap Gus Farhan, seraya tersenyum mengangkat tubuhku agar terbangun dari sisi Papa, karena tim medis akan membawanya keruang pemandian jenazah.
Gus Farhan, membawaku dalam pelukannya. Sebelum pergi Papa menyiapka dada tempatku berlindung, Papa meyiapkan bahu untuku bersandar. Aku menangis dalam diam.
“Gus, boleh jika aku ikut memandikan jenazah Papa?” Tanyaku pelan. Gus Farhan, mengangguk dan menuntunku menuju ruang di mana Papa akan di bersihkan.
Prosesi pemakaman berjalan khidmat. Beberapa kerabat dan sahabat dan juga karyawan-karyawan perusahaan Papa datang dari Singkawang, mengucapkan belasungkawa, meskipun mayoritas mereka beragama non muslim. Kesedihan akan kehilangan sosok yang selama ini menjadi tauladan bagi mereka, berbaur dalam duka.
“Heln, jangan merasa sendiri. bagaimana pun kamu adalah keluarga bagi kami, kabari Om, jika butuh sesuatu,” ucap salah satu adik papa.
“Terimakasih, untuk belasungkawa dan tawarannya Om, maafkan Papa jika ada kesalahan semasa hidupnya,” jawabku. Mereka lantas pamit untuk kembali ke rumah masing-masing.
Kini hanya aku dan Gus Farhan, dalam pondokan Papa, Umi Maryam dan Kiayi Andullah sudah lebih dulu kembali ke pesantren, karena sejak kemarin mereka menemaniku di Rumah Sakit.
Kusandarkan tubuh pada sandaran tempat tidur. Masih belum bisa kupercaya jika yang Kuasa memanggil Papa di hari pernikahanku. Kutarik napas dalam lalu kuhembuskan perlahan, seraya memejamkan mata. Bulir bening kembali menetes dari ceruk mata lelahku. Dadaku kembali terasa sesak, “Papa…,” ucapku lirih.
Gus Farhan, masuk ke dalam kamar. Duduk di sisiku, melepas nikobku yang sudah basah dengan air mata. “Hanya Allah yang mampu melepas apa saja pada diri kita, kepada hamba-hamba-Nya. Prihal maut misalnya. Kita tidak mampu menghindar atau pun menundanya. Jangan luapkan marahmu kepada Sang Kuasa, karena hal itu akan merusak jiwamu sendiri. jadilah pribadi yang mampu menyelaraskan apa pun yang Allah kehendaki,” ujarnya, seraya menghapus air mataku. Aku mengangguk pelan membenarkan ucapannya.
Tanpa terasa mataku terlelap. Entah berapa lama. Sayup kudengar suara memanggilku. Kubuka mata, senyum mengembang di sudut bibir laki-laki di hadapanku. Aku terpenjat kedua mataku membelalak terkejut.
“Siapa, kamu!” Seruku sambil menutup sebagian wajahku dengan selimut.
“Fatimah? Lihat baik-baik siapa aku?” ucapnya, seraya menunjuk dirinya sendiri.
Sepesekian detik, aku baru tersadar, jika saat ini aku sudah memiliki suami. “M…, maaf, Gus,” ucapku. Sambil menepuk keningku sendiri. aku beringsut dari tempat tidur.