40 hari sudah Papa, meninggalkan dunia fana ini. Aku masih berjibaku dengan duka yang tak kunjung sirna. Selepas siang aku bersiap untuk ziarah ke makam Mama dan Papa. Karena esok Gus Farhan, akan memboyongku ke pondok pesantren milikya yang sudah ia tinggalkan satu bulan lebih, demi menemaniku di sini.
Langit sore terbungkus hitam dan sendu menyatu sempurna dengan udara. Sedih masih menggelayut di setiap mendung awan. Perih setiap teringat lembaran kenangan lama, satu bulan lebih Papa, pergi meninggalkanku. Selepas kudapatkan pengganti bahu yang hilang. Mataku basah oleh sesuatu yang hangat.
“Mari pulang, biarkan mereka beristirahat dengan tenang. Hanya doa yang dapat kita hadiahkan untuk mereka,” Gus Farhan, mendekap bahuku yang masih bersimpuh di sisi pusara setelah memanjatkan doa.
Aku berdiri dan berjalan perlahan meninggalkan dua buah gundukan tanah. Tempat peristirahatan terakhir kedua belahan jiwaku. Seandainya saja Papa pergi tanpa meninggalkan pundak yang dapat kurangkul, mungkin saat ini aku sedang larut dalam duka sendirian.
Mendung awan isyarat hujan, lumbung kenangan mengingat kerinduan. “Selamat beristirahat, Mama, Papa. Terimakasih untuk semua yang telah kalian perjuangkan untukku. Esok aku akan menjalani hari baru di tempat yang baru, semoga keberkahan dan keridhaan Allah selalu mnyertai langkah kaki kecilku,” gumamku dalam hati.
****
“Mang Ujang, saya titip pondokan ya, tolong di jaga dan di rawat baik-baik. Sesekali saya pasti akan kembali ke sini.” Aku berpesan kepada mang Ujang, sebelum pergi meninggalkan pondokan Papa.
“Iya Neng, sudah pasti Mamang akan merawat. Hati-hati di jalan,” jawab mang Ujang seraya membantu Gus Farhan, menaikkan koper-koper berisi perlengkapan yang akan kubawa.
Kami singgah ke pesantren Kiaiyi Abdullah, sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat ini.
Suasana kembali mengharu saat Umi Maryam, memelukku erat. Menyampaikan pesan-pesan untukku di sertai doa agar aku dapat menjalani kewajibanku sebagai seorang istri dengan baik. Mengingat posisiku sebagai istri kedua yang tentunya tidaklah mudah.
Kutarik napas pelan. “Selalu doakan aku ya Umi.” Pintaku seraya mencium punggung tangannya.
“Gus, kami titp Fatimah, rawat dan didiklah ia dengan bijak. Kami percayakan semua itu di atas bahumu, jika pun sudah tidak ada cinta dan kasih sayang, jangan pernah terlantarkan dia. Sekarang kamilah kedua orang tuanya. Jika hal itu terjadi, kembalikan dia kepada kami dengan baik-baik. Jangan pernah sakiti hati dan persaana, pun fisiknya,” tutur Kiayi Abdullah, seraya menyentuh pundak Gus Farhan.
Tak kuasa aku menahan tangis, kembali kupeluk Umi Maryam dan menumpahkan air mataku di bahu wanita yang sudah seperti ibuku sendiri.