Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #34

Chapter #34 Tak Kusangka, Ternyata Dia Maduku

 

“Gus, boleh jika aku ingin menempati kamar yang lain?” Aku bertanya setelah kita berada di ruang tengah rumah.

“Tidak apa-apa, bukankah tadi Gus yang bilang, jika ini adalah rumahku…, jadi itu tandanya aku bebas memilih kamar mana yang ingin kutempati,” ucapku sambil tersenyum kearahnya.

Seperti tidak punya pilihan lain, Gus Farhan, menuruti keinginanku. Aku pun menempati kamar kedua di dalam rumah ini. Bukan tanpa alasan aku melakukan hal ini. Istri pertama Gus Farhan, sudah mengijinkan pernikahan ini dan aku tidak ingin merebut apa pun yang memang menjadi haknya tanpa sisa. Kamar utama itu milik Gus Farhan dan istrinya. Aku akan berusaha memelihara cinta mereka semampu yang aku bisa.

Tentang istri pertam Gus Farhan, pun keberadaannya masih menjadi misteri yang belum terpecahkan untukku. Meski Gus Farhan, memberikan aku kebebasan untuk menata isi ruangan rumah sesuai keingianku, hal itu tidak kulakukan. Aku membiarkan rumah ini sesuai dengan pertama kali aku masuk ke dalamnya. Toh semua sudah nampak rapih dan teratur. Sepertinya istri pertama Gus Farhan, orang yang cukup sederhana dan apik, terlihat dari barang-barang dan tata letak berbagai furnitur.

Aku mulai aktif di pondok pesantren milik Gus Farhan, menjadi tenaga pengajar sesuai dengan ilmu yang pernah kudapat dan kupelajari. Membimbing beberapa kajian kitab-kitab dan juga sejarah islam.

Semua santri baik Utadz dan Ustadzah dan para asatid dan asatidzah, menerimaku dengan baik di sini, hal itu membuatku merasa nyaman tidak menjadi asing seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Meski pun, Gus Farhan, sudah mulai aktif dengan safari dakwahnya hingga ke luar kota.

Lepas kajian bada isya, aku segera memasuki rumah dengan tergesa karena kulihat mobil Gus Farhan, memasuki halaman rumah.

“Assalamualaikum,” ucapku, seraya mencari keberadaannya.

“Waalaikumssalam,” Gus Farhan, keluar dari arah dapur dengan segelas air putih di tangannya. Aku mencium punggung tangannya dengan takdzim, ia membalas dengan mencium keningku, lalu menyodorkan air putih yang sejak tadi ia pegang.

“Untukku?”

“Hu’um.”

“Seharusnya, akulah yang menyediakan air putih ini untukmu yang baru saja tiba di rumah, bukan sebaliknya,” ucapku sambil merangkul pinggangnya.

“Kamu baru saja selesai mengajar, pasti haus. Lagi pula sebagai suami aku pun memilki kewajiban untuk melayani itriku,” jawabnya sambil membelai pucuk kepalaku. Hal yang selalu ia lakukan jika kami sedang berbincang. Sesuatu yang sederhana. Namun, membuatku sangat nyaman dan merasa di lindungi.

Lihat selengkapnya