Hamparan hijau sejauh mata memandang, menyampu sore di bawah desiran angin pegunungan. Sekawanan burung-burung kecil kembali ke sarang dengan perut yang kenyang, sesekali terdengar cicitan merdu dan suara binatang sore. Kaki langit menghadirkan rona jingga, menciptakan kolaborasi warna yang tak ternilai.
Seiring larik senja yang mulai menghilang, mentari kembali keperaduan. Aku masih enggan beranjak dari tempat dudukku. “Fatimah,” suara Gus Farhan, membuyarkan lamunanku.
“Apa yang kamu pikirkan?” Ia bertanya seraya duduk di sampingku.
“Di mana Kak Aisyah?” Tanyaku tanpa menoleh kearahnya.
“Sedang istirahat.”
“Gus, kamu benar-benar tidak punya hati,” ucapku ketus.
“Kenapa? Apa kamu masih marah prihal Aisyah, yang menemuimu tempo hari?”
“Bukan karena itu.”
“Lalu?”
“Kak Aisyah, sedang sakit dan Gus membiarkan dia tinggal di tempat ini. Sendirian, jauh dari keramaian, jauh dari pusat kesehatan, apa tidak kamu berpikir jika tiba-tiba kak Aisyah, drop?” Ucapku berapi-api.
“Ia yang memintanya sendiri.”
“Dan, Gus, dengan mudahnya menyetujui?” Aku menoleh manatap wajahnya, “Aku mau Kak Aisyah, ikut kita pulang. Dia harus berada di tempat yang semestinya. Di tengah orang-orang yang mencintai dan menyayanginya,” ucapku, menatap lekat wajah laki-laki di hadapanku.
“Aku sudah cukup nyaman di sini Fatimah!” seru Kak Aisyah, dari ambang pintu yang tidak jauh dari tempatku dan Gus Farhan, berada.
Secara bersamaan aku dan Gus Farhan, menoleh ke arah pintu, ternyata Kak Aisyah mendengar semua ucapanku. Dengan langkah tergesa aku menghampiri wanita yang duduk di kursi roda tersebut.
“Mungkin Kakak merasa nayaman, tapi tidak untuk aku!” Kataku setelah berada di hadapannya.
“Aku tidak ingin merepotkan siapapun, aku akan tetap menunggu takdirku di sini,” ia berucap pelan.
“Takdir, takdir seperti apa yang Kak Aisyah maksud? Saat ini Allah mentakdirkan kita untuk hidup bersama…, aku mohon Kak, ikut kami,” Aku menggenggam tangannya dan beucap mengiba.