Dua hari sudah Gus Farhan, menghindariku. Berkali kucoba untuk bicara. Namun, seakan tidak di beri celah bahkan untuk sekedar mendekatinya. Kusibukkan diri bersama para santri, jika usai memberi kajian, waktu yang tersisa kugunakan untuk diskusi atau sekedar berbincang bersama mereka. Sejak Gus Farhan, mendiamkan aku. Enggan rasanya untuk pulang. Rumah yang semula menjadi tempat ternyaman kini seperti tempat asing bagiku.
Gus Farhan, selalu menghabiskan waktu bersama Kak Aisyah, selepas aktivitasnya. Kadang rasa cemburu mulai merayap dalam hati ini. meski pun, aku berusaha menolak rasa cemburu yang mulai tumbuh. Aku manusia biasa, sabarku tidaklah sempurna, pun Gus Farhan, di kenal sebagai ulama dan pemuka agama. Menjadi sosok tauladan yang di banggakan para santri-santrinya. Namun, Gus Farhan, tetaplah manusia yang memilki nafsu dan emosi, bukan malaikat seperti yang kusangka.
“Assalamualaikum, Umi,” ucap salam seorang santri setengah berlari menghampiriku yang sedang duduk di majlis.
“Ada apa, Husna?”
“Maaf Umi, tadi saya melihat Gus Farhan, menelpon Dokter. Seperinya beliau sangat panik,” jawabnya dengan nafas yang masih tersenggal.
Aku lantas berdiri dan berlari menuju rumah, mungkin ada sesuatu dengan Kak Aisyah, Pikirku.
“Assalamualaikum,” ucap salamku. Kulihat Gus Farhan, baru saja menutup telponnya.
“Gus, apa ada sesuatau terjadi dengan kak Aisyah?” tanyaku tanpa basa-basi. Tak agi terpikirkan jika saat ini ia, sedang marah denganku.
“Ada di kamar,” jawabnya setelah memandangku beberapa saat. Aku berlari ke kamar Kak Aisyah.
“Kak, apa yang terjadi,” Aku bertanya seraya melangkah cepat ke sisinya. Wajah pucat dan tubuh yang lemas. Keringat membasahi keningnya.
“Kita harus ke Dokter sekarang,” ucapku cepat setelah berada di sampingnya.
“Kita harus secepatnya membawa Kak Aisyah ke Rumah Sakit,” ucapku begitu Gus Farhan membuka pintu.
“Sebentar lagi Dokter datang,” ucapnya seraya berjalan mendekati kami.
“Tidak ada waktu untuk menunggu. Sekrang siapkan mobil kita kerumah sakit!” Cecarku sambil berusaha membangunkan Kak Aisya.
“Gus! Cepat siapkan mobil,” Gus Farhan, berlalu. Tak seberapa lama ia kembali kekamar dan aku memintanya untuk menggendong Kak Aisyah ke mobil.
“Kak, bertahan ya, sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit,” ucapkua setelah kami berada dalam perjalanan. Aku terus menggenggam tangan Khaka Aisya, yang terasa dingin. Ku gosok-gosokkan telapak tanganku ke telapak tangannya.
“Fa-timah....” Bibir pucat itu bergerak memanggil namaku pelan.
“Sudah, Kaka, jangan terlalu banyak bicara, sebentar lagi kita sampai,” Aku berbisik di telinganya. Kupeluk tubuh ringkih yang semakin terlihat lemas. Seketika nafas yang sejak tadi tersenggal kini terasa begitu tenang. “Kak! Kak Aisyah!” seuku eraya menyentuh pipinya.